Rabu, 20 Februari 2013

Review Status, Kondisi, Dan Letak Geografis Pos Lintas Batas Sebagai Gerbang Pertumbuhan Ekonomi Regional Perbatasan Antar Negara




(Oleh : Team PT. Pillar Pusaka Inti Konsultan, Jakarta, 2012)


I.              Latar Belakang
Kajian “Review Status, Kondisi, dan Letak Nilai Strategis Pos Lintas Batas negara” didasarkan pada permasalahan : (1) Status keberadaan PLB sebagai hasil kesepakatan/perjanjian bilateral kedua Negara yang diindikasikan di beberapa titik kurang jelas; (2) Beberapa PLB di wilayah RI tidak memiliki pasangan PLB di wilayah negara tetangga; (3) Sebagian besar PLB tidak dikelola secara terpadu dengan kondisi sarana prasarana penunjang yang terbatas; (4) PLB belum dimaksimalkan pengelolaannya sebagai gerbang pertumbuhan ekonomi regional perbatasan antar negara.

Maksud pelaksanaan pekerjaan ini ialah sebagai upaya untuk menemukan postur utuh dan kapasitas riil yang ada di lapangan tentang keberadaan Pos Lintas Batas Negara, dengan tujuan untuk : (1) Menilai status dan kondisi Pos Lintas Batas Negara di perbatasan; (2) Menilai letak strategis Pos Lintas Batas Negara di perbatasan; (3) Mengkompilasi kondisi eksisting Pos Lintas Batas Negara; (4) Memberikan rekomendasi tentang PLB yang memiliki nilai strategis untuk dikembangkan; dan (5) Memberikan rekomendasi tentang PLB yang tidak layak untuk dipertahankan karena alasan tertentu.

II.      Hasil analisis 

A. Hasil review terhadap PLB yang disepakati dalam perjanjian lintas batas adalah sebagai   berikut :
Seluruh PLB tradisional yang ditetapkan dan disepakati dalam perjanjian lintas batas pada umumnya dalam kondisi aktif, dalam arti terdapat aktivitas pelintas batas yang bersifat tradisional namun volumenya di sebagian besar PLB  relatif kecil. Hal ini disebabkan aktivitas dilakukan oleh komunitas lokal yang berorientasi kepada tujuan sosial budaya dan perdagangan lintas batas tradisional dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari.  
Ditinjau dari jarak PLB/TPI ke pusat pertumbuhan ekonomi terdekat, sebagian besar PLB dinilai memiliki jarak sedang, Tidak seluruh PLB dikembangkan untuk tujuan pengembangan ekonomi dimana kedekatan dengan pusat pertumbuhan ekonomi menjadi satu prasyarat, namun sebagian besar dibuka untuk tujuan sosial budaya masyarakat setempat (kemudahan berkebun, berburu, kunjungan kekeluargaan, dll) yang tidak berkaitan dengan kepentingan pengembangan ekonomi regional.
Ditinjau dari kemudahan aksesibilitas menuju PLB, sebagian besar PLB dinilai memiliki aksesibilitas sulit. Hal ini mengkonfirmasi bahwa kondisi infrastrukur terutama perhubungan/transportasi pada kawasan perbatasan di sekitar PLB pada umumnya masih buruk dan memerlukan perhatian serius  dari pemerintah.
Ditinjau dari kelengkapan instansi CIQS, sebagian besar PLB dinilai tidak memiliki kelengkapan sarana dan prasarana CIQS yang memadai. Hal ini mengkonfirmasi bahwa kecilnya volume lintas batas yang melintasi suatu PLB serta sifat perlintasan yang bersifat tradisional menyebabkan tidak seluruh PLB dikembangkan sarana dan prasarana CIQS secara memadai. Untuk itu diperlukan klasifikasi PLB berdasarkan volume lintas batas yang dilayaninya untuk menentukan skala pengembangan sarana prasarananya, termasuk CIQS.
Ditinjau dari potensi pengembangan ekonomi, sebagian besar PLB dinilai memiliki potensi pengembangan ekonomi skala internasional. Persepsi ini terkait dengan kedekatan PLB dengan jalur perdagangan internasional. Misalnya PLB di Riau dan Kepri yang berdekatan dengan Selat Malaka yang dinilai memiliki potensi besar untuk dikembangkan dengan memanfaatkan peluang perdagangan dan investasi global.

B. Hasil review terhadap PLB/TPI studi kasus (Pelabuhan Dumai, PLB/TPI Belakang Padang, Pelabuhan/TPI Tanjung Uban, PPLB Lamijung, PLB/TPI Napan, dan PLB Jagoi Babang mengindikasikan seluruh PLB dapat dikembangkan sebagai pintu gerbang bagi aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara karena dari aspek lokasi telah menjadi perhatian dan prioritas dalam berbagai  kebijakan nasional (MP3EI, RTRWN), dan perlu dioptimalkan untuk mengoptimalkan peluang kerjasama regional (ASEAN connectivity)/sub regional (KESR). Beberapa titik sudah dapat berfungsi optimal, namun sebbagian lainnya belum dapat dioperasikan secaara efektif karena terkendala permasalahan terkait dengan kesepakatan dengan negara tetangga (PLB Jagoi Babang) dan atau izin operasional (PLB Lamijung)
C. Hasil Analisa SWOT menegaskan bahwa terdapat peluang pengembangan PLB sebagai pusat pertumbuhan yang bersumber dari dinamika perekonomian global, regional, dan sub regional seperti Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), ASEAN connectivity,  ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA). IMT-GT, IMS-GT, AIDA, BIMP EAGA. Dari sisi kebijakan nasional, terdapat peluang untuk mengembangkan kawasan perbatasan sebagai “pintu gerbang” aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga yang dapat meliputi seluruh  lokasi tempat keluar masuk wilayah negara (exit-entry point) berupa pelabuhan laut internasional, bandar udara internasional, pelabuhan penyeberangan antar negara, atau pos lintas batas tradisional/internasional yang berada di 10 kawasan perbatasan negara. Dukungan lain yang bersifat nasional yaitu adanya kebijakan nasional yaitu dalam RTRWN beberapa kutub pertumbuhan di kawasan perbatasan yang ditetapkan sebagai Pusat Kawasan Strategis Nasional (PKSN), Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Perbatasan Negara (RTR KSN PN) dan dalam MP3EI ditetapkan sebagai pusat kegiatan ekonomi (PKE). Memperhatikan berbagai peluang tersebut, , maka titik-titik exit-entry point yang potensial dikembangkan sebagai gerbang pusat pertumbuhan ekonomi regional adalah PLB/TPI yang berada di lokasi-lokasi yang menjadi perhatian kebijakan nasional dan regional serta dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi di negara tetangga.  Hal ini dengan mempertimbangkan TPI adalah tahap perkembangan selanjutnya dari suatu PLB tradisional, karena peningkatan status PLB menjadi TPI sudah mempertimbangkan adanya potensi mobilitas barang dan orang yang tinggi.
D. Pengembangan PLB sebagai gerbang pusat pertumbuhan ekonomi regional dapat dikembangkan dalam beberapa model  sebagai berikut :

D.1 PLB Laut 

Berdasarkan hasil analisa dan kesimpulan sebelumnya maka rekomendasi pengembangan PLB Laut terkait dengan potensi pengembangan :
1.    Kegiatan industri baik skala besar maupun skala kecil/tradisional

Kawasan industri di perbatasan laut dapat dibangun dekat pelabuhan dan disesuaikan dengan luas kawasan atau pulau tersebut. Kawasan industri yang dikembangkan sebaiknya tidak bersifat footlose industry, namun berbasis kepada potensi ekonomi kelautan dan perikanan yang ada untuk mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat setempat.

2. Perdagangan baik skala besar maupun skala kecil/tradisional, Ekonomi kelautan seperti perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Diperlukan outlet bagi masyarakat untuk memasarkan hasil-hasil tangkapan/budidayanya. Outlet ini bisa berupa pasar tradisional ataupun Tempat Pelelangan Ikan/TPI

3. Kepelabuhanan dan jasa logistik pelayaran, perlu dilengkapi dengan berbagai fasilitas kepelabuhanan seperti dermaga, terminal penumpang, lapangan penumpukan, lapangan penimbunan kontainer, gudang, fasilitas perkantoran, fasilitas CIQ dan pos keamanan, peralatan kepelabuhanan (alat navigasi, kapal tunda, crane, foklift, dll), fasilitas listrik dan air bersih, serta fasilitas pendukung lainnya.
4.  Jasa lingkungan seperti wisata bahari. Kawasan wisata bahari di sekitar Pos Lintas Batas perlu dilengkapi dengan fasilitas perhotelan, restoran, tempat penukaran mata uang, dan toko cindera mata serta persewaan alat wisata laut untuk turis-turis dari negara tetangga ataupun negara lain. Mengingat lokasinya di kawasan perbatasan, turis akan memperoleh keuntungan jika disediakan fasilitas keimigrasian yang cepat, tertib, dan mudah, namun tetap menjaga keamanan.
·        
D.2 PLB Darat 
Berdasarkan hasil analisa dan kesimpulan sebelumnya maka rekomendasi pengembangan PLB Darat terkait dengan potensi pengembangan adalah dengan penggabungan pengembangan PLB model transito dan agropolitan.
1.       Model Transito
       Model pengembangan  ini tidak diperlukan dryport atau terminal, karena dapat dibangun di pusat pertumbuhan negara masing-masing. Untuk keperluan mempercepat proses dan keamanan lintas barang dan orang, selain PPLB sebagai fasilitas standar di perbatasan, dalam model ini juga perlu dikembangkan beberapa fasilitas lain seperti welcome plaza dan kawasan permukiman yang pengembangannya disesuaikan dengan kebutuhan seperti Perbankan dan money changer, Perhotelan dan rumah makan, Usaha untuk mengurus surat-surat dan jasa keimigrasian,    Usaha - usaha pertokoan, pasar, Cinderamata, Bengkel, Pos dan telekomunikasi, listrik, air dan jasa-jasa lainnya. Namun jika interaksi di perbatasan sudah masuk pada skala industri dengan pertukaran modal, bahan baku, teknologi, dan tenaga kerja terlatih, maka diperlukan infrastrukur bisnis yang cukup besar dan berskala internasional

2.       Model Agropolitan
       Model pengembangan agropolitan diperlukan penyediaan fasilitas pelayanan seperti tersedianya gudang-gudang sarana penyimpanan, pengawetan dan fasilitas pengangkutan. Selain itu dipusat pertumbuhan baru di kawasan perbatasan kedua negara harus ada pusat pengolahan hasil pertanian. Selain itu, berkembangnya kawasan ini tidak saja untuk transit, tetapi menjadi kawasan bisnis atau bahkan kawasan sentra produksi sehingga membutuhkan fasilitas-fasilitas lain, baik prasarana fisik maupun aturan-aturan kelembagaan lainnya.
     


E. PLB yang tidak memiliki nilai strategis ekonomi tidak harus selalu dipersepsikan “tidak berguna” dan harus ditutup. Tidak seluruh PLB harus dikembangkan sebagai gerbang pertumbuhan ekonomi regional perbatasan, namun sesuai dengan filosofi pembentukannya PLB pada awalnya dibuka untuk mengakamodosi pergerakan lintas batas tradisional masyarakat lokal yang sudah berlangsung lama dan memiliki tujuan—tujuan sosial budaya. Hal ini misalnya sering terjadi kawasan perbatasan Timor Leste, dimana volume lintas batas kecil namun keberadaan PLB sangat diperlukan untuk mengakomodir kebutuhan mobilitas masyarakat lokal agar tidak melanggar peraturan perundangan yang berlaku. Perkembangan sosial dan ekonomi serta infrastuktur transportasi dapat mengubah perilaku mobilitas lintas batas tradisional penduduk lokal. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian lanjutan secara mendalam di setiap titik untuk memutuskan PLB mana yang sudah tidak dipergunakan masyarakat untuk mendukung aktivitas kehidupan sehari-harinya.

III.        Rekomendasi indak Lanut
1. Prioritas pengembangan PLB sebagai pintu gerbang pertumbuhan ekonomi regional dapat difokuskan  BNPP pada titik exit-entry point sebagai berikut :
a.  RI-Malaysia : (1) Aruk; (2) Entikong; (3) Jagoi Babang; (4) Nunukan;
b. Sulawesi Utara : (1) Marore; (2) Miangas
c. PNG : Skouw
d. NTT : (1) Napan; (2) Motaain; (3) Metamauk; (4) Wini

2.  PLB tradisional yang tidak memiliki nilai strategis ekonomi, selama masih dipergunakan untuk pemenuhan tujuan sosial budaya masyarakat harus tetap dipertahankan. PLB yang ada perlu diperkuat sistem pengawasannya serta disediakan sarana, prasarana, dan pelayanan yang memadai sesuai dengan volume mobilitas lintas batas yang terjadi. Untuk itu diperlukan kategorisasi PLB berdasarkan volume mobilitas lintas batasnya untuk mempermudah skala sarana dan prasarana yang harus disediakan.
3. BNPP perlu merumuskan sistem monitoring PLB secara berkala untuk meninjau  perkembangan mobilitas penduduk yang dapat digunakan untuk memutuskan PLB mana yang sudah tidak dipergunakan masyarakat untuk mendukung aktivitas kehidupan sehari-harinya.

KAJIAN PENGEMBANGAN POLA PENGELOLAAN POS LINTAS BATAS NEGARA (Oleh : Team PT. Pillar Pusaka Inti, Jakarta, 2011)





I.         PENDAHULUAN
Penataan ulang Pos Lintas Batas Negara (PLBN) merupakan bagian dari upaya penataan tempat keluar masuk wilayah negara secara keseluruhan, baik keluar masuk orang maupun barang yang saat ini diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
UU No. 6/2011 tentang Keimigrasian menyatakan bahwa fungsi keimigrasian di sepanjang garis perbatasan dilaksanakan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yaitu tempat pemeriksaan di pelabuhan laut, bandar udara, pos lintas batas, atau tempat lain sebagai tempat masuk dan keluar Wilayah Indonesia,  dan pos lintas batas (PLB) yaitu tempat pemeriksaan pada jalur yang disepakati berdasarkan perjanjian lintas batas dengan negara tetangga. UU No. 17/2006 tentang Kepabeanan menyatakan bahwa  kawasan pabean dengan batas-batas tertentu terdapat di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang, dimana di kawasan pabean ini didirikan pos pengawasan pabean, yaitu tempat yang digunakan oleh pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor. Sedangkan berdasarkan UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, dinyatakan bahwa pelabuhan laut, pelabuhan sungai, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain, dari tempat-tempat lain yang dianggap perlu ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan dari/atau mengeluarkan media pembawa hama dan penyakit hewan, hama dari penyakit ikan atau organisme pengganggu tumbuhan.
Sebagian tempat  keluar masuk wilayah negara telah dikelola oleh suatu unit manajemen khusus. Pelabuhan-pelabuhan laut di Indonesia, termasuk di perbatasan, dikelola PT. Pelindo sebagai operator pelabuhan, kecuali di kawasan-kawasan khusus yang diselenggarakan oleh Badan Pengusahaan Kawasan (misalnya di Batam dan Sabang). Sedangkan bandar udara selain ditangani Kementerian Perhubungan, sebagian dikelola oleh PT. Angkasa Pura (Persero).  Adapun untuk PLB Darat dan PLB Laut (diluar pelabuhan laut yang dikelola PT. Pelindo), sebagian kecil telah dikelola oleh administratur PLB berdasarkan Permendagri No. 18/2007 tentang Standarisasi Pengelolaan Pos Lintas Batas.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, tempat keluar masuk wilayah negara melalui PLB baik di wilayah darat maupun laut belum dikelola secara maksimal oleh administratur PLB secara profesional sebagaimana halnya dengan pengelolaan bandar udara dan pelabuhan laut. Bahkan di sebagian besar PLB, administratur PLB sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 18/2007 sama sekali belum berjalan. Hal ini menyebabkan kawasan PLB pada umumnya belum tertata dengan baik, belum didukung oleh pemeriksaan dan pelayanan lintas batas secara lengkap, dan memiliki sarana dan prasarana yang alakadarnya.
Penerbitan Perpres No. 12/2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) merupakan momentum untuk mewujudkan pengelolaan PLB secara lebih terpadu dan profesional. Namun demikian, peranan BNPP dalam pengelolaan PLB belum terumuskan jelas dalam Permendagri No. 18/2007, sehingga diperlukan reformulasi kebijakan pengelolaan PLB yang mampu mengoptimalkan peranan Badan Nasional Pengelola Perbatasan sesuai tugas dan fungsinya.

II.      ISU-ISU STRATEGIS
Beberapa isu strategis dalam pengelolaan PLB dapat diuraikan sebagai berikut :
1.   Perbedaan Pendefinisian Pos Lintas Batas. Pihak Imigrasi menyatakan terdapat 79 Pos Lintas Batas yang disepakati berdasarkan perjanjian lintas batas negara. Namun, pihak karantina ikan menyatakan hanya terdapat 4 pos perbatasan sebagai Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina (Entikong, Mota’ain, Napan, dan Metamauk). Demikian pula, pihak karantina hewan menyatakan hanya terdapat 3 pos perbatasan yang ditetapkan sebagai balai atau stasiun karantina hewan (Mota’ain, Entikong, dan Skouw). Hal ini disebabkan adanya perbedaan pendefinisian “PLB” pada peraturan di masing-masing sektor. “Pos perbatasan” pihak karantina hanya mengacu kepada definisi PLB/TPI darat pada peraturan keimigrasian, sedangkan sebagian pelabuhan laut yang ditetapkan oleh pihak imigrasi sebagai PLB Laut tidak didefinisikan pihak karantina sebagai PLB.
2.   Pola Pembangunan PLB Bersifat Parsial dan Sektoral. Aktivitas lintas batas di Indonesia ditangani oleh berbagai instansi terkait (Bea Cukai, Imigrasi, dan Karantina, ditambah TNI dan POLRI) yang bekerja sesuai amanat peraturan perundang-undangan masing-masing. Ketiadaan pola koordinasi yang jelas menyebabkan upaya pembangunan PLB berlangsung secara parsial dan sektoral yang menyebabkan  setiap instansi berjalan sendiri-sendiri, bahkan memunculkan tumpang tindih (overlapping) antara satu instansi dengan yang lainnya. Mobilisasi sarana dan prasarana setiap instansi, termasuk instalasi bangunan pos, dilakukan tanpa mengacu kepada standar dan penataan ruang bersama, estetika kawasan, maupun efisiensi prosedur pelayanan bagi pelintas batas.
3.   Ketidakjelasan Tugas Pengelola PLB. Di dalam Permendagri No. 18/2007 tentang standarisasi PLB, dinyatakan bahwa PLB dikelola oleh administratur Pos Lintas Batas. Dalam implementasinya di lapangan, kebijakan ini ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Di wilayah Nunukan misalnya, para petugas CIQ tidak mengetahui keberadaan administratur PLB yang berperan dalam koordinasi pengelolaan PLB. Kurangnya implementasi kebijakan administratur PLB disebabkan oleh ketidakjelasan tugas dan fungsi dan tata kerja dari Administratur PLB dalam pengelolaan PLB. Permendagri No. 18/20007 hanya mengatur 4 (empat) hal utama terkait administratur PLB yaitu pengaturan mengenai penunjukkan administratur PLB; pendanaan pembangunan dan pengelolaan PLB; pelaporan pembangunan dan pengelolaan PLB; dan Penyediaan lahan. Sedangkan tugas, fungsi, serta tata kerja Administratur PLB dalam pengelolaan (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian) PLB tidak diatur secara rinci.
4.       Belum Adanya Mekanisme Formal Koordinasi dan Kolaborasi Lintas-Intansi di PLB. Sebagai implikasi dari kebijakan yang bersifat sektoral dan tidak optimalnya peranan administratur PLB dalam mengintegrasikan pembangunan dan pengelolaan PLB, maka operasionalisasi tugas instansi terkait di PLB berjalan sendiri-sendiri, serta tidak memperoleh “support system” yang memadai. Permasalahan koordinasi dalam pelaksanaan pemeriksaan lintas batas misalnya seringkali diselesaikan secara informal di lapangan, yang tentu saja pola seperti ini tidak memadai untuk menangani persoalan-persoalan yang kompleks. Demikian juga permasalahan pemenuhan support system seperti ketersediaan listrik, air bersih, dan prasarana dasar lainnya seringkali tidak jelas penanganannya karena tidak ada instansi yang secara khusus berwenang menangani permasalahan tersebut di PLB. Kondisi ini terjadi karena tidak adanya  mekenisme koordinasi dan kolaborasi yang disepakati secara formal lintas instansi.
5.       Belum Adanya Prosedur Pelayanan Yang Baku Dalam Pemeriksaan dan Pelayanan Lintas Batas. Selama ini aktivitas pemeriksaan dan pelayanan lintas batas masih menggunakan standar operasional dari masing-masing instansi yang terlibat di PLB dan belum ada SOP yang mengintegrasikan aktifitas dan kinerja instansi yang terlibat langsung di PLB. Situasi ini akan cenderung memunculkan ego sektoral dalam menjalankan fungsi dan tugas di lapangan. Tumpang tindih dalam prosedur pemeriksaan masing-masing instansi di lapangan juga kerap terjadi, yang biasanya bersumber dari penafsiran kebijakan secara sektoral. Misalnya, lazim terjadi overlapping peran dalam melaksanakan pemeriksaan di garis depan karena masing-masing instansi merasa paling berwenang untuk melakukan pemeriksaan di lini pertama.
6.   Minimnya Jumlah dan Kualitas Petugas yang Berjaga di PLB. Secara umum sumber daya manusia (SDM) aparat yang bertugas di PLB masih minim. Pada PLB Mota’ain di Provinsi Nusa Tenggara Timur misalnya, petugas imigrasi, bea cukai dan karantina yang bertugas rata-rata berjumlah 3 orang dari idealnya 5 orang yang seharusnya bertugas. Kondisi seperti ini bisa jadi terkait dengan aktivitas di PLB dimana pada jam-jam tertentu agak lengang, sementara pada jam-jam sibuk cukup merepotkan petugas.  Selain persoalan masih minimnya jumlah petugas yang ditempatkan di sejumlah PLB oleh instansi terkait, hal ini semakin diperburuk dengan masih rendahnya kualitas SDM yang bertugas di PLB, terutama kemampuan dalam berbahasa asing (bahasa Inggris). Padahal jika melihat fungsi PLB sebagai exit entry point dimana pelintas batas sangat beragam dan dari berbagai negara, maka kebutuhan akan kemampuan petugas PLB terhadap bahasa asing terutama bahasa Inggris adalah sebuah keharusan.
7.   Model dan Pengaturan Tata Letak Bangunan PLB Belum Sesuai Urutan Prosedur Pemeriksaan dan Kesepakatan Antar Negara. Sebagian besar bangunan PLB di Indonesia memiliki kantor keimigrasian, karantina, dan imigrasi yang terpencar-pencar dan tidak mencerminkan urutan prosedur pemeriksaan. Hal ini misalnya terjadi di PLB Belakang Padang dan Metamauk/Motamasin,. Di beberapa PLB, misalnya di Entikong dan Mota’ain, tempat pemeriksaan utama masih terlalu mepet dengan garis batas, tidak ada daerah steril sesuai kesepakatan dengan negara tetangga. Permasalahan tata bangunan juga terjadi pada efektifitas layout (tata letak) bangunan bagi penyelenggaraan pelayanan lintas batas secara cepat. Misalnya di Aruk Kabupaten Sambas terdapat pintu lalu-lintas seperti gerbang tol yang diraskan tidak efektif dipakai terutama bangunan bagian tengah.
8.     Fasilitas untuk Mendukung Pemeriksaan Masih Minim. Banyak PLB belum memiliki fasilitas pendukung yang penting dimiliki sebuah pos perbatasan seperti jembatan timbang, jalur antrian,  scanner x-ray, pengukur suhu tubuh manusia, dan sebagainya. Hal ini disebabkan keterbatasan sarana pendukung misalnya minimnya pasokan listrik, minimnya kapasitas tenaga operator/SDM, serta keterbatasan anggaran bagi pengadaan fasilitas pendukung.
9.     Terhambatnya Pembangunan Sarana dan Prasarana PLB Karena Kesulitan Penyediaan Lahan. Beberapa pengalaman menunjukan kesulitan dalam penyediaan lahan menjadi faktor penyebab terhambatnya pengembangan PLB, misalnya PLB Skouw yang terhambat oleh klaim lahan adat. Demikian pula rencana pengembangan PLB Aruk yang secara detail telah dituangkan dalam Rencana Master Plan namun terhambat status kepemilikan tanah masyarakat yang tidak secara sepenuhnya bisa melepas bagi kepentingan pemerintah. Masalah penyediaan tanah ini tidak mudah, seringkali diperlukan usaha sangat panjang dan proses yang lama sementara kebutuhan akan pemenuhan dan pembangunan sarana prasarana PLBN sangat mendesak.
10.Minimnya Sarana dan Prasarana Penunjang. Sebagian besar PLB belum dilengkapi oleh sarana dan prasarana penunjang yang penting bagi operasionalisasi PLB seperti jalan, listrik, air bersih, dan telekomunikasi. Selain sarana dan prasarana dasar yang minim tersebut, kawasan PLB minim dari dukungan fasilitas yang lainnya seperti untuk kegiatan transaksi jual beli barang dan makanan, tempat istirahat dan hiburan ruang publik (ruang terbuka hijau/taman, dan ruang terbuka non hijau/open space), tempat hiburan, souvenir, penginapan, sehingga yang tampak adalah kesan bahwa PLB yang tidak menarik dan representatif untuk dikunjungi.

III.   ARAHAN PENGEMBANGAN PENATAAN POS LINTAS BATAS NEGARA
Berdasarkan hasil analisis isu strategis  di atas, beberapa arahan pengembangan yang dapat dirumuskan bagi penataan PLB adalah sebagai berikut :
1.        Perlu penyamaan definisi PLB yang dijadikan acuan bersama instansi-instansi terkait. Istilah “PLB Negara (PLBN)” dapat digunakan untuk merujuk seluruh tempat keluar masuk wilayah negara baik di darat maupun di laut yang ditetapkan berdasarkan Kesepakatan Kerjasama Bilateral antara Republik Indonesia dan Negara Tetangga sebagaimana tertulis dalam dokumen perjanjian lintas batas. Hal ini diperlukan agar tempat-tempat keluar masuk yang disepakati tersebut dapat dikembangkan secara bersama-sama oleh berbagai instansi terkait, dan didukung oleh fasilitas yang lengkap dengan standarisasi tertentu. Sesuai standar internasional, pengelolaan lintas batas negara minimal dilakukan oleh tiga unsur yaitu kepabeanan (C), imigrasi (I), dan karantina (Q). Namun selain ketiga fungsi tersebut dapat juga diselenggarakan fungsi-fungsi lain yang diperlukan sesuai kebutuhan, seperti keamanan, pertahanan,  perdagangan, dll namun ditempatkan diluar tempat pemeriksaan utama.
2.        Perlu klasifikasi PLBN berdasarkan volume lintas barang dan orang yang berimplikasi kepada skala, jenis, dan jumlah sarana dan parsarana yang perlu dibangun di PLBN beserta kawasan penunjangnya.
3.        Dalam aspek pengelolaan, diperlukan revisi Permendagri No. 18/2007 dengan memperkuat peranan BNPP dalam pengelolaan PLBN. Berdasarkan UU No. 43/2008 dan Perpres No. 12/2010, BNPP adalah satu-satunya institusi yang memiliki tugas dalam penetapan kebijakan, penetapan rencana, koordinasi pelaksanaan, serta evaluasi dan pengawasan dalam pengelolan batas wilayah dan pembangunan kawasan perbatasan. Tugas tersebut diselenggarakan tanpa mengambil alih kewenangan, tugas, dan fungsi dari K/L terkait. Berdasarkan hal tersebut,  dalam konteks pengelolaan PLBN, strategi yang paling memungkinkan untuk  diterapkan di Indonesia adalah dengan “memperkuat koordinasi dan kolaborasi diantara instansi-instansi CIQ terkait untuk meminimalisir kelemahan pola pengelolaan secara sektoral/parsial”. Sebagai pengejawantahan strategi tersebut, perlu dibentuk suatu “unit manajemen” sebagai kepanjangan tangan BNPP di PLBN untuk mendukung koordinasi CIQ yang saat ini telah ada di PLB oleh instansi terkait.
4.        Area dukungan yang diberikan unit manajemen bagi instansi di PLBN meliputi  bidang perencanaan dan pendanaan; koordinasi pelaksanaan; pengendalian dan pengawasan; serta basis data. Dukungan ini diberikan agar setiap institusi tetap dapat menjalankan tupoksinya sesuai aturan perundang-undangan masing-masing tapi dalam arahan kebijakan yang dikoordinasikan oleh Unit Manajemen. Unit Manajemen memiliki tugas untuk: (a) Menyusun dan mengusulkan rencana pengelolaan PLBN kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai standarisasi dan tata ruang yang ditetapkan beserta kebutuhan pembiayaannya; (b) Mengkoordinasikan pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana oleh instansi terkait di PLBN; (c) Melakukan pengendalian dan pengawasan; (d) Melakukan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data-data lintas batas melalui koordinasi dengan instansi terkait; dan (e) Memfasilitasi ketersediaan sarana prasarana penunjang dan operasional Pos Lintas Batas Negara.
5.        Tata kerja pengelolaan PLBN oleh Unit Manajemen dapat diselenggarakan sebagai berikut :
a.    Perencanaan dan Pendanaan. Unit Manajemen PLBN menyusun rencana kebutuhan pengelolaan PLB dan mengkomunikasikannya kepada pihak terkait untuk pembiayaannya. Dalam hal pembangunan infrastruktur pada Tempat Pemeriksaan Utama dan pada kawasan penunjang perlu mengacu kepada suatu Rencana Detail Tata Ruang serta standar yang telah ditetapkan. Pengelolaan CIQ pada Tempat Pemeriksaan Utama merupakan urusan pusat sehingga pembiayaannya dapat bersumber dari dana APBN, Sedangkan pembangunan sarana prasarana penunjang kawasan PLB merupakan urusan bersama (concurrent) sehingga pembiayaannya dapat bersumber dari dana APBN atau APBD disesuaikan dengan kewenangan pembangunannya. Pengusulan dana APBN dilakukan oleh unit manajemen PLB kepada BNPP untuk selanjutnya dikoordinasikan kepada Kementerian/Lembaga terkait, sedangkan pengusulan dana APBD dilakukan oleh Unit Manajemen PLB kepada BPPD untuk selanjutnya dikoordinasikan kepada SKPD terkait. Kebutuhan pembangunan kawasan PLB yang bersumber dari pihak swasta misalnya perbankan, money changer, dan sebagainya juga perlu dikoordinasikan dan difasilitasi  oleh Unit Manajemen PLB.
b.    Koordinasi Pelaksanaan. Unit Manajemen PLB mengkoordinasikan proses pembangunan oleh berbagai instansi pusat, daerah, dan swasta agar pelaksanaannya dapat berjalan sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Koordinasi dilakukan untuk menangani berbagai permasalahan yang dapat menghambat proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta.  Adapun penyediaan lahan pembangunan PLB menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah dibawah koordinasi Unit Manajemen PLB. Penyediaan aparatur, sarana, dan prasarana juga disediakan oleh masing-masing instansi dengan mengacu kepada standar yang ditetapkan oleh Unit Manajemen PLB.
c.     Pengendalian dan Pengawasan. Unit Manajemen PLB melakukan monitoring, evaluasi, dan pengawasan secara berkala terhadap kegiatan pengelolaan PLB, termasuk terhadap prosedur pemeriksaan oleh instansi terkait agar sesuai dengan SOP yang disepakati. Unit Manajemen PLB juga perlu mengembangkan sistem pengawasan oleh masyarakat melalui kotak pos pengaduan, SMS gratis pengaduan atau metode lain yang dipandang perlu. Berbagai permasalahan yang diperoleh dari hasil monitoring, evaluasi, dan pengawasan ataupun pelanggaran-pelanggaran perlu dikomunikasikan kepada institusi terkait di lapangan untuk memperoleh solusi penanganan. Dalam hal permasalahan yang memerlukan penanganan pada level yang lebih tinggi, hasil monitoring, evaluasi, dan pengawasan dilaporkan kepada BNPP untuk dikoordinasikan lebih lanjut penanganannya kepada instansi terkait di tingkat pusat dan provinsi.
d. Basis Data. Unit Manajemen PLBN berhak memperoleh data yang terkait dengan kinerja pelayanan lintas batas dan data lainnya dari instansi terkait di PLB, untuk selanjutnya didokumentasikan, diolah, didistribusikan, dan dipublikasikan kepada pihak-pihak terkait
6.        Diperlukan penetapan SOP baku yang disepakati bersama dalam aktivitas pemeriksaan dan pelayanan lintas batas oleh instansi terkait untuk menghindari overlapping dan mempertagas urutan prosedur pemeriksaan. Urutan prosedur pemeriksaan juga perlu dimanifestasikan dalam model dan pengaturan tata letak bangunan.
7.        Kebutuhan SDM dalam pengelolaan Pos Lintas Batas Negara, disesuaikan dengan tingkat/klasifikasi/kebutuhan PLBN itu sendiri. Dimana masing-masing instansi CIQ mempunyai standar dan kewenangan dalam menentukan kriteria serta kualifikasi personil yang mampu untuk ditugaskan di PLBN. Sedangkan untuk manajer pada unit manajemen kawasan PLBN merupakan pejabat pusat yang ditunjuk oleh Kepala BNPP dengan pertimbangan efektifitas dalam mengkoordinasikan instansi terkait di PLBN yang merupakan unit-unit dari instansi pemerintah pusat. Pengusulan manajer tersebut dapat dilakukan oleh Gubernur.
8.        Diperlukan masterplan PLBN yang baku sesuai dengan kaidah perencanaan termasuk dalam pengaturan site plan rinci setiap fungsi ruang kegiatan untuk PLB yang sesuai standar dan peraturan perundangan berlaku serta disepakati oleh negara tetangga. Terkait dengan upaya tersebut diatas untuk kedepannya dalam perencanaan kawasan PLB harus mencakup kawasan inti dan kawasan penyangga kawasan, hal ini dimaksudkan kawasan tersebut terintegrasi dengan kawasan diluar tersebut dan tidak ada kesan ekslusif namun tetap mempunyai satu kesatuan kawasan yang berkembang dan tertata rapi.
9.        Diperlukan pengadaan kelengkapan fasilitas PLBN sesuai dengan standar yang ada (BCM, scanner, x-ray, jembatan timbang, dan sebagainya) dan dukungan kelengkapan sarana perkantoran sesuai kebutuhan. Penyediaan berbagai fasilitas modern di PLBN harus didukung oleh dukungan infrastruktur penunjang lainnya (listrik, jalan, dan sebagainya), serta tenaga operator yang mumpuni di bidangnya.
10.    Perlunya dukungan prasarana dan sarana perhubungan untuk meningkatkan akses dari dan ke menuju PLBN dan membuka keterisolasian kawasan perbatasan. Pembangunan prasarana transportasi berikut dengan kesiapan moda angkutan dari dan ke PLBN mendesak untuk dilakukan, sehingga kawasan-kawasan atau daerah lintasan menuju PLBN pada gilirannya akan berkembang, namun dari sejak awal kawasan tersebut termasuk kedalam kawasan yang diperlukan penataannya berdasarkan skala prioritas pembangunan.
11.    Perlunya dukungan utilitas (listrik, telepon, air bersih) yang memadai untuk kelangsungan kegiatan PLBN. Penyediaan sarana utilitas sangat diperlukan bagi upaya kelangsungan kegiatan di area gedung/bangunan dan kawasan PLBN (terutama untuk mendukung keseharian para pegawai/petugas PLBN) di lingkungannya.
12.    Perlunya penataan kawasan PLBN yang berkesan kaku menjadi area yang mempunyai magnet untuk tertarik dikunjungi dan berkesan friendly dan greeny serta didukung oleh sarana-sarana seperti area perdagangan dan jasa, tempat akomodasi, art zone,  ruang terbuka hijau, ruang publik dan lain-sebagainya. Hal ini penting untuk dilakukan agar  PLBN tidak terkesan ekslusif serta diusahakan tidak saja untuk masyarakat lokal tetapi mempunyai daya tarik untuk mendatangkan masyarakat luar Indonesia yang mendatangi PLBN tersebut.
13.    Perlunya sosialisasi kepada Pemerintah Daerah agar dapat memfasilitasi ketersediaan lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana Pos Lintas Batas. Negara. Aparat Pemda perlu mensosialisasikan tentang kepentingan dan atau nilai urgensi PLBN di kawasan perbatasan yang merupakan kepentingan untuk semua pihak dengan tidak mengesampingkan hak-hak ulayat kawasan PLB tersebut. 
IV.    PENUTUP
Penataan PLBN dalam aspek pengelolaan maupun pembangunannya di seluruh tempat keluar masuk berdasarkan Kesepakatan Kerjasama Bilateral antara Republik Indonesia dan Negara Tetangga sebagaimana tertulis dalam dokumen perjanjian llintas batas, melalui revisi Permendagri No. 18/2007 mendesak untuk dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar PLBN dapat berfungsi dengan baik sebagai tempat keluar masuk wilayah negara seperti halnya tempat keluar masuk wilayah negara lainnya di bandar udara dan pelabuhan-pelabuhan laut, khususnya dalam memfasilitasi aktivitas lintas batas masyarakat setempat  secara tertib, aman, dan legal.