Rabu, 22 Desember 2010

Master Plan Perkotaan Teunom Kabupaten Aceh Jaya

A. Rencana Struktur Tata Ruang
A.1 Arahan Pengembangan dan Distribusi Penduduk
- Luas Wilayah Perkotaan Teunom 2.041 Ha
- Lahan potensial bagi kawasan binaan kota sebesar 1.046,76 Ha.
- Arahan kepadatan pada besaran rata-rata 60 jiwa/ha yang merupakan kepadatan ideal untuk kota ukuran kecil.
- Kawasan potensial Perkotaan Teunom akan mampu menampung penduduk sekitar 84.165 jiwa (asumsi lahan terbangun potensial 45% dari luas kawasan pengembangan perkotaan = 1.963,06 Ha)
- Berdasar hasil olah proyeksi penduduk, diperkirakan jumlah penduduk Perkotaan Teunompada akhir tahun rencana (2030) adalah sebesar 13.256 jiwa.
Arahan kebijaksanaan kepadatan penduduk, pendistribusian secara merata ke seluruh blok kawasan pengembangan (BKP); mengurangi kepadatan penduduk di kawasan pesisir pantai dan kawasan beresiko (rawan banjir); mengarahkan distribusi ke arah barat dan utara.
- Kawasan Pusat Kota diarahkan mempunyai kepadatan sedang 60-80 jiwa/ha, mengingat kawasan ini berhadapan langsung dengan faktor pembatas alam (sungai dan pantai serta termasuk kategori rawan landa tsunami dan banjir.
- Kawasan Penyangga perkembangan pusat Kota diarahkan mempunyai kepadatan rendah sampai sedang 40-60 jiwa/ha, mengingat kawasan ini yang berbatasan langsung dengan Kr. Teunom dan pantainya di bagian selatan serta dari segi penggunaan lahan eksisting masih banyak lahan produktif kebun dan hutan rakyat yang bisa dioptimalkan dan dapat pula sebagai green belt (sabuk hijau daerah aliran Kr. Teunom) yang harus dipertahanakan.
- Kawasan pengaruh pusat kota diarahkan mempunyai kepadatan tinggi 80 -100 jiwa/ha, mengingat potensi perkembangan berpeluang ke arah Padang Kleng, Tanoh Anoe dan koriodor jalan menuju Sarah Raya.
- Distribusi penduduk dengan kepadatan rendah-sedang berkisar antara 40-60 jiwa/ha diarahkan kawasan pengembangan baru di arah barat Kr. On dan utara jalan utama kawasan, mengingat kawasan ini mempunyai daya dukung dan tingkat keamanan dari bahaya ancaman tsunami dan banjir Kr. Teunom, namun perkembangan sepanjang Kr. On dan lahan pertanian produktif (kebun dan hutan) dibatasi.
- Distribusi penduduk berkepadatan rendah > 40 jiwa/ha diarahkan di kawasan pengembangan cadangan terbatas yang terletak di bagian barat kawasan mulai dari bata sungai Kr. On dan bagian selatan jalan utama kawasan. Mengingat kawasan ini secara eksisting merupakan lahan rawa-rawa, kebun, ladang/tegalan serta sebagian kecil perumahan/pemukiman. Peruntukan lahan tersebut tetap dipertahankan bahkan diotimalkan untuk rawa menjadi lahan produktif yaitu tambak serta kawasan dekat pentainya berpotensi sebagai kawasan pariwisata.

A.2 Rencana Sistem Pusat Pelayanan Perkotaan
A.2.1 Tata Jenjang Pusat Pelayanan
a. Pusat Utama Kota
Pusat utama merupakan pusat utama kota dan pusat orientasi aktivitas perkotaan yang sekaligus sebagai penciri dan pokal point Perkotaan Teunom. Mengingat Teunom merupakan Ibukota Kecamatan Teunom maka Pusat Utama ini cenderung akan difungsikan memiliki cakupan pelayanan bagi wilayah kecamatan. Hal ini juga didukung oleh potensi utama kota yaitu di sektor perdagangan dan jasa. Titik sentral pengembangan pusat utama ini berada pada kawasan Keude Teunom.
b. Pusat Sekunder Kota
Memperhatikan kondisi perwilayahan Perkotaan Teunom terutama dari sisi luasan wilayahnya serta proyeksi pesatnya perkembangan kegiatan kekotaan maka bagi struktur ruang kotanya akan dikembangkan Pusat Sekunder Kota. Fungsi puat sekunder ini adalah untuk mengantisipasi akumulasi beban pusat utama kota serta untuk memacu perkembangan bagian kota terutama ke arah barat dan utara. Sebagai titik pusat pengembangannya sekunder ini adalah di kawasan Tanoh Manyang.
c. Pusat Blok (Pusat Kawasan Pengembangan)
Pusat Blok difungsikan sebagai titik pusat pelayanan dengan cakupan wilayah terbatas. Konsep pengembangan pusat blok ini adalah pelayanan bagi penduduk di tiap kawasan yang dikembangkan.
d. Pusat Lingkungan (Sub Blok)
Pusat lingkungan (Sub Blok) merupakan jenjang pusat pelayanan paling rendah dimana jangkauan pelayanannya adalah penduduk dalam satu lingkungan permukiman. Jangkauan wilayah pelayanan merupakan adalah melayani wilayah-wilayah dalam sub blok bagian dari Blok Kawasan.

A.2.2 Pembagian Blok Kawasan Pengembangan (BKP)
1. BKP Pusat Kota dengan pusat berada di kawasan Keude Teunom
Cakupan wilayah BKP ini adalah meliputi Desa Keude Teunom, Alue Ambang dan Panton dengan luas sebesar 99,20 ha.
Fungsi yang akan diemban BKP ini adalah :
- sebagai pusat perdagangan dan pelayanan jasa skala kota dan regional
- sebagai pusat koleksi dan distribusi serta pemasaran potensi ikan laut skala kota dan regional
- pusat pelayanan pemerintahan
- pengembangan permukiman dengan kepadatan sedang
- kawasan lindung (sempadan sungai)
2. BKP A (Kawasan Penyangga Pusat Kota-Sempadan Sungai dan Pantai) dengan pusat berada di Gampong Baro.
Cakupan wilayah BKP A ini adalah meliputi Pasi Tulak Bala, Gampong Baro, Pasi Pawang, Rambong Payong dengan luas BKP sebesar 568,28 ha.
Fungsi yang akan diemban kawasan ini adalah :
- perdagangan dan jasa
- permukiman kepadatan rendah sampai sedang
- pengembangan budidaya pertanian, perikanan
- kawasan lindung (sempadan sungai dan pantai)
3. BKP B (Kawasan Pengaruh Pusat Kota) dengan pusat berada di Tanoh Anoe
Cakupan wilayah BWK ini adalah meliputi Padang Kleng, Tanoh Anoe dan Rambong Payong dengan luas BWK sebesar 337,13 ha.
Fungsi yang akan diemban kawasan ini adalah :
- pusat perkantoran dan pelayanan umum skala kota
- pusat perdagangan
- pusat industri pengolahan hasil pertanian dan industri kecil rumah tangga
- permukiman kepadatan tinggi
- kawasan lindung (sempadan sungai)
4. BKP C (Kawasan Pengembangan Baru) dengan pusat berada di Tanoh Manyang
Cakupan wilayah BWK ini adalah meliputi Tanoh Manyang, Padang Kleng, Tanoh Anoe dan Batee Roo dengan luas BKP sebesar 418,24 ha.
Fungsi yang akan diemban kawasan ini adalah :
- pusat pendidikan menengah
- pusat pelayanan kesehatan
- Perkantoran dan pelayanan umum
- perdagangan
- permukiman kepadatan rendah-sedang
- pengembangan budidaya pertanian (perkebunan)
- kawasan lindung (sempadan sungai)
5. BKP D (Kawasan Cadangan Pengembangan Terbatas) dengan pusat berada di Perumahan Lampoh Kawah
Cakupan wilayah BWK ini adalah meliputi Tanoh Manyang dan Batee Roo dengan luas BKP sebesar 540,21 ha.
Fungsi yang akan diemban kawasan ini adalah :
- pelayanan umum
- permukiman kepadatan rendah
- pengembangan budidaya perikanan
- pengembangan pariwisata pantai
- kawasan lindung (sempadan pantai, sungai)

A.3 Rencana Sistem Jaringan Transportasi
1. Pengembangan Jalan Regional (Jalan Arteri Sekunder)
Ruas jalan ini merupakan jalan yang menghubungkan Perkotaan Teunom dengan kota atau daerah lain yang memilki fungsi dalam sistem pergerakan regional. Pada saat ini terdapat 1 jalur akses regional yang melewatai Perkotaan Teunom yaitu arah dari Banda Aceh yang melintasi pusat kota dan terhubung dengan jalur ke arah Meulaboh-Medan (Propinsi Sumut).
Adanya rencana pembangunan jalan baru sebagai arteri primer yang berfungsi sebagai jalan pergerakan eksternal utama kearah utara-selatan yang diusahakan jalan baru tersebut direncanakan sebagian memperlebar ruas-ruas jalan yang ada (sesuai dengan program pembangunan dan peningkatan jalan Calang-Meulaboh oleh MDF) dan sebagian membuat rintisan trace baru mulai dari titik simpang III Padang Kleng menuju jembatan Kreung Teunom sepanjang + 2 Km.
Volume pergerakan yang merupakan campuran antara pergerakan regional dengan pergerakan internal kota selama ini masih bisa dilayani oleh kapasitas jalan yang ada. Namum demikian, seiring dengan pertumbuhan aktivitas kota serta peningkatan volume pergerakan regional, perlu ada pemisahan kedua jenis pergerakan tersebut di masa yang akan datang.

2. Pengembangan jaringan jalan internal
Jalan Kolektor Primer
Rencana Peningkatan fungsi jaringan jalan primer diarahkan pada jalan simpang III Padang Kleng – Sarah Raya.
Selain menciptakan akses ke kawasan kawasan perdesaan dari dan ke pusat kota (keude Teunom) kemudian menuju Banda Aceh-Calang-Meulaboh. jalan ini juga berfungsi sebagai jalan kolektor primer yang melayani pergerakan di kawasan pengembangan bagian utara. Pengembangan jalan kolektor primer juga dikembangkan untuk mengakses kawasan penghasil pertanian/perkebunan dari desa-desa wilayah Kecamatan Teunom bagian utara menuju ke pusat kota (pusat koleksi dan dsitribusi).
Jalan Kolektor Sekunder
Jaringan jalan ini memilki fungsi sebagai pengumpul dan penyebar pergerakan dari kawasan pembangkit dan penarik pergerakan, seperti kawasan pusat pemukiman, kawasan pusat perdagangan, kawasan pelayanan sosial, kawasan pusat rekreasi, dan lain-lain.
Perencanaan sistem jaringan jalan ini, terutama pada beberapa pengembangan kawasan dilakukan dalam tingkat konsepsual, yakni hanya menunjukan bahwa pengembangan jaringan kurang lebih dilakukan pada lokasi seperti digambarkan namun dengan kepastian trace yang disesuaikan dengan kondisi fisik di lapangan. Pengembangan sistem jaringan jalan kolektor sekunder ini fleksibel terhadap perubahan kebutuhan pergerakan kota yang ditentukan oleh perkembangan kota selanjutnya.
Jalan Lokal
Jaringan jalan lokal (jalan lingkungan utama) merupakan jalan yang direncanakan dan dikembangkan untuk mendukung pergerakan di dalam masing - masing lingkungan dan menghubungkan antara satu unit lingkungan dengan unit lingkungan yang lainnya.
Selain itu, pertimbangan peningkatan jalan lingkungan biasa menjadi jalan lingkungan utama ini adalah dalam rangka penerapan konsep mitigasi bencana, yaitu perlu direncanakan ruas-ruas jalan mana saja yang akan ditentukan sebagai rute jalan penyelamatan (escape-evacuated road).

3.Terminal Kota
Berdasarakan arahan dari Dinas PU bahwa alokasi Prasarana terminal diarahkan di lokasi bagian barat di Desa Tanoh Manyong antara Polsek dengan jalan Komplek Perumahan Lampoh Kawah fungsinya menjadi terminal kota (lokal). Dasar pertimbangan utama adalah bahwa untuk mengurangi beban penumpukan moda transport di pusat kota serta adanya titik pergantian menuju pusat kota, mengingat pusat kota tersebut saat ini sudah mulai adanya bangkitan lalu-lintas yang cukup ramai karena pertemuan antara jalan Padang Kleng-Sarah Raya serta bermuaranya jalan-jalan lokal di pusat kota tersebut. Pertimbangan lain adalah posisinya yang harus berada pada jalur jalan utama serta pada lokasi tersebut tepat berada pada jalur jalan eksiting (jalan nasional) yang fungsinya sebagai jalan arteri dan urat nadi pergerakan lokal maupun regional.

B. Rencana Pola Pemanfaatan Ruang
B.1 Kawasan Budidaya Perkotaan
Pengembangan kawasan budidaya perkotaan pada hakekatnya adalah untuk mewadahi berbagai kegiatan fungsional kota yaitu kawasan perumahan dan permukiman beserta fasilitas penunjangnya, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan pemerintahan dan pelayanan umum, kawasan pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan, peribadatan dan rekreasi) serta kawasan sarana dan prasarana penunjang kegiatan perkotaan.

B.2 Kawasan Budidaya Non Perkotaan
Selain pengembangan kawasan budidaya perkotaan yang berwujud penggunaan untuk kegiatan kekotaan (kawasan perumahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan pendidikan, kawasan keagamaan) beserta sarana prasarana penunjang lainnya pola pemanfaatan lahan Perkotaan Teunom direncanakan pula untuk pengembangan lahan pertanian (sawah dan kebun dan lahan rawa di sub blok D2 dan A1 dikembangkan menjadi lahan tambak), lahan tersebut dapat berfungsi pula sebagai kawasan resapan air dan hijau kota. Penggunaan lahan untuk pertanian/persawahan adalah sebesar 62,97 ha (3,09%, kebun 644,23 ha (31,56%) dan lahan pengembangan untuk tambak 133,94 ha (6,56%).

B.3 Kawasan Lindung
- Kawasan Resapan Air dan Penyangga
Pada prinsipnya kawasan resapan dan penyangga ini berfungsi sebagai kawasan pengatur sumber air dan melindungi kawasan di bawahnya. Bagi Perkotaan Teunom, kawasan resapan dan penyangga yang dikembangkan adalah kawasan eksisting yang berupa rawa-rawa yang menurut hasil analisis lahan merupakan kawasan limitasi kota. Luas kawasan limitasi ini sebesar 85,26 ha atau sekitar 4,18% dari luas perkotaan keseluruhan.
- Kawasan Sempadan dan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan sempadan yang dikembangkan adalah berupa kawasan sempadan sungai dan sempadan pantai. Pengaturan garis sempadan pantai yang berfungsi membatasi kawasan tertentu sepanjang pantai dengan jarak 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah daratan, luasnya 51,95 Ha (2,55%).
Pengaturan sempadan sungai Luasnya 104,21 Ha (5,11%):
Untuk sempadan Krueng Teunom adalah selebar 100 m di kanan kiri sungai sedang bagi sungai-sungai lain adalah sebesar 10 m untuk kawasan permukiman dan 50 m untuk kawasan di luar permukiman.


Jumat, 20 Agustus 2010

Rencana Penataan Kawasan Kumuh Perkotaan (Kasus, Gampong Blang Asan Kecamatan Kota Sigli, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh)


Permasalahan dan upaya penanganan

Permukiman kumuh merupakan permasalahan krusial bagi fungsi kota karena menjadi hambatan bagi efektifitas perekonomian dan aktifitas inhabitatnya. Kesadaran akan pentingnya permasalahan ini tertuang dalam komitmen penanganan permukiman kumuh di Indonesia oleh Departemen Pekerjaan Umum cq. Direktorat Jenderal Cipta Karya yang dilaksanakan dengan konsep pemberdayaan masyarakat melalui fasilitasi pendampingan yang langsung menyentuh permasalahan strategisnya. Upaya tersebut melalui program peningkatan kualitas lingkungan permukiman seperti program KIP, P2LPK, P3KT dan Program PKL.
Permukiman kumuh timbul karena penyebab dan kondisi yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik permukiman kumuh seharusnya menjadi pertimbangan utama dan “jalan masuk” (entry point) dalam merumuskan rencana penanganannya, sebagai contoh; berdasarkan status tanahnya, beberapa permukiman kumuh berdiri di atas tanah negara atau tanah milik. Dikaitkan dengan kemungkinan penanganan kepemilikan tanahnya dan konsekuensi legal maupun biaya, maka penanganan permukiman kumuh di atas tanah negara akan sangat berbeda dengan permukiman kumuh di atas tanah milik. Berdasarkan perbedaan karakteristik dan permasalahannya, maka dibutuhkan pendekatan dan penanganan yang berbeda. Ketidaktepatan dalam pemilihan pola penanganan yang mengacu pada tipologi permasalahan kumuh akan mengakibatkan kegagalan dalam penanganannya.

Lahan berkembang cepat menjadi hunian sementara yang kumuh dan seringkali bukan pada peruntukan perumahan dalam RTRW/RDTR.

Mempertimbangkan kondisi di atas, maka terlihat peran kajian dan identifikasi terhadap suatu lahan permukiman kumuh dalam menentukan tipologi permasalahan dan kekumuhannya memiliki peran yang sangat penting sebagai dasar atau pijakan untuk memberikan arahan dalam menentukan pola penanganan kawasan kumuh. Oleh sebab itu dibutuhkan kegiatan kajian pendayagunaan tanah di permukiman kumuh yang diharapkan dapat merupakan kegiatan awal dari proses kegiatan penanganan permukiman kumuh yang utuh.

UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas permukiman meliputi upaya melalui perbaikan atau pemugaran, peremajaan serta pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan

Mempertimbangkan bahwa penanganan permukiman kumuh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penanganan permasalahan dan strategi pembangunan kota, maka bentuk penanganan permukiman kumuh harus mengacu pada konstelasi penanganan kota. Peremajaan kota merupakan salah satu cara pengembangan kota, karenanya perlu dicermati bahwa kawasan permukiman kumuh yang akan diinventarisasi harus dibatasi pada kawasan kumuh yang akan ditangani dengan peremajaan kota atau terkait dan mendukung program peremajaan kota.

Saat ini di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh masih terdapat permukiman – permukiman yang dikategorikan kumuh. Keterbatasan dan kualitas dari sarana dan prasarana permukiman yang tidak memadai untuk suatu kawasan permukiman menjadi salah satu permasalahan mendasar yang terjadi di daerah tersebut. Hal tersebut telah disadari oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Program – program rencana tindak dan strategi penangannya mulai disusun melalui peningkatan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan pengelolaan penanganan permukiman kumuh dengan keyakinan dasar bahwa suatu permukiman yang responsive dapat secara langsung mendukung pengembangan jatidiri, produktifitas dan kemandirian masyarakat penghuninya. Bila hal tersebut terlaksana sebagaimana mestinya, maka permukiman kumuh di kawasan Kabupaten Pidie dapat diminimalisir keberadaannya.

POTENSI KAWASAN
Berbagai potensi yang ada dalam pengembangan di Gampong Blang Asan adalah sebagai berikut:
1. Cukup besarnya proporsi distribusi penduduk Gampong Blang Asan terhadap Kawasan Perkotaan Sigli setelah Gampong Keramat dan Gajah Ayee, yaitu sebesar ± 5,8 % atau 2.069 jiwa dari total jumlah penduduk Kawasan Perkotaan Sigli sebesar 35.685 jiwa, dapat menjadi potensi bagi pembangunan lokal di wilayah Gampong. Namun demikian perlu di kelola dengan baik agar tidak menjadi faktor yang menghambat perkembangan kawasan,
2. Adanya rencana pengembangan perumahan perkotaan
3. Adanya rencana pengembangan rencana kawasan campuran di koridor jalan utama Banda Aceh (Jl Tgk. Cik Ditiro)-Medan (Jl. Prof A. Madjid Ibrahim)
4. Posisi strategis kawasan yang berada di pusat kota bisa dijangkau dari berbagai arah
5. Kecenderungan jadi pusat inti kegiatan diantara 2 kutub pertumbuhan kawasan perkotaan Hierarki I (Pelayanan Kabupaten) dan Hierarki II (Pelayanan Skala Perkotaan).
6. Masih cukup banyak lahan non terbangun di Gampong Blang Asan, dapat menjadi potensi bagi pengembangan dan peremajaan kawasan.



PERMASALAHAN KAWASAN
Berbagai permasalahan pengembangan Gampong Blang Asan dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu: aspek fisik dan tata ruang, aspek prasarana dan sarana serta aspek lingkungan.
1. Permasalahan Fisik dan Tata Ruang
 Adanya kecenderungan semakin meluasnya kawasan permukiman kumuh di sekitar daerah aliran sungai Kreung Baro perlu ditindaklanjuti dengan upaya perencanaan yang tepat dan upaya pengendalian yang ketat.
 Pola pemanfaatan ruang yang tidak seiimbang berkembang tidak terkendali dan cenderung kurang optimal di pinggiran Gampong Blang Asan membutuhkan pola penanganan yang tepat agar kegiatan masyarakat sekitar dapat berjalan dengan semestinya.

2. Permasalahan Prasarana dan Sarana
 Buruk dan sempitnya jalan lingkungan yang ada terutama untuk lingkungan padat bangunan perumahan yang cukup menghambat aktifitas warga.
 Saluran drainase yang kurang memadai dapat mengurangi keseimbangan lingkungan.
 Belum adanya Tempat Pembuangan Sampah Sementara baik yang bersifat Arm Roll Truck maupun bangunan TPS diperkirakan sangat dibutuhkan untuk menampung volume timbulan sampah.

3. Permasalahan Lingkungan
 Bila terjadi gelombang pasang yang besar dari laut akan mempengaruhi tinggi muka air Kreung Baro, sehingga tingkat kecemasan akan mempengaruhi juga terhadap penduduk yang berada di sekitar Krueng Baro tersebut. Selain itu berdasarkan data dan pengamatan lapangan kawasan ini berpotensi terjadinya banjir tahunan.
 Pemanfaatan beberapa titik (spot) tepian sungai Kreung Baro oleh masyarakat sekitar yang dipakai untuk Kakus Umum, tanpa adanya pengendalian dapat mengurangi kualitas lingkungan sungai Kreung Baro.
 Terdapat beberapa lokasi yang dijadikan tempat penimbunan sampah oleh warga, seperti sempadan sungai atau tanah kosong
 Tingkat kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah masih kurang

RENCANA PROGRAM PENANGANAN

Kamis, 10 Juni 2010

Salah satu Potensi SDA Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam : Kawasan Taman Nasional Gn. Leuser





Taman Nasional Gunung Leuser merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan.

Jenis batuannya terdiri dari batuan sedimen, batuan vulkanik, batuan kapur, batuan pluton, batuan alluvium dan batuan lainnya, keadaan tanahnya didominasi oleh komplek podsolik coklat, podsolik dan litosol.

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan salah satu yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai cagar biosfir. Berdasarkan kerjasama Indonesia - Malaysia, juga ditetapkan sebagai "Sister Parks" dengan Taman Negara National Park (Malaysia).

Potensi Flora

Kawasan terdiri dari hutan pantai/rawa, hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi dan pegunungan yang sebagian besar kawasan didominir oleh ekosistem hutan Dipterocarpaceae dengan flora langka khas Raflesia atjehensis dan Johanesteinimania altifrons (pohon payung raksasa) dan Rizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar, langka dan dilindungi dengan diamater 1,5 meter. Selain itu, itu terdapat tumbuhan yang unik yaitu ara atau tumbuhan paceklik.

Taman Nasional Gunung Leuser, memiliki penyebaran vegetasi hutan yang komplit mulai dari vegetasi hutan pantai/rawa, hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi dan pegunungan. Diperkirakan ada sekitar 3.500 jenis flora.

Potensi Fauna

Taman Nasional Gunung Leuser juga kaya akan jenis fauna mulai dari Mamalia dan/Primata, Carnivora, Herbivora, Aves, Reptil, Amphibi, Pisces dan Invertebrata. Diperkirakan ada sekitar 89 jenis satwa yang tergolong langka dan dilindungi ada di sini di samping jenis satwa lainnya.

Untuk jenis mamalia dan/Primata Taman Nasional Gunung Leuser memiliki 130 jenis mamalia atau sepertiga puluh dua dari keseluruhan jenis mamalia yang ada di dunia atau seperempat dari seluruh jumlah jenis mamalia yang ada di Indonesia. Diantaranya yang paling menonjol adalah Mawasa (Pongo pygmaeus abelii), Sarudung (Hylobates lar), Siamang (Hylobates syndactilus), Kera (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestriana) dan Kedih (Presbytis thomasi). Untuk jenis satwa carnivora seperti Macan dahan (Neofelis nebulosa), Beruang (Helarctos malayanus), Harimau sumatera (Phantera tigris Sumatraensis). Jenis satwa herbivora seperti Gajah (Elephas maximus), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatraensisi), Rusa (Cervus unicolor).

Jenis satwa Aves/burung , diperkirakan ada sekitar 325 jenis burung di Taman Nasional Gunung Leuser atau sepertiga puluh dari jumlah jenis burung yang ada di dunia. Diantaranya yang paling menonjol adalah Rangkong Badak (Buceros rhinoceros).

Jenis fauna Reptilia dan Amphibia didominasi oleh jenis fauna ular berbisa dan Buaya (Crocodillus sp). Untuk fauna jenis Pisces yang menarik adalah Ikan Jurung (Tor sp), yang merupakan ikan khas Sungai Alas dan dagingnya terkenal akan kelezatannya serta bisa mencapai panjang 1 meter. Sedangkan jenis fauna Invertebrata, didominasi oleh Kupu-kupu.

Satwa langka dan dilindungi yang terdapat pada hutan Taman Nasional Gunung Leuser antara lain:
Orang Utan (Pongo pygmaeus abelii)
Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)
Harimau loreng Sumatera (Panthera tigris sumatrae)
Gajah Sumatera (Elephas maximus)
Beruang Madu (Helarctos malayanus)
Burung Rangkong Papan (Buceros bicornis)
Anjing Ajag (Cuon Alpinus)
Siamang (Hylobates syndactylus)


Potensi Obyek Wisata dan Penelitian

Taman Nasional Gunung Leuser, di samping merupakan kawasan pelestarian alam yang kaya akan jenis flora dan faunanya juga kaya akan panorama alam yang indah dan dapat dijadikan obyek dalam kegiatan Ekotourism seperti berpetualang di alam bebas/berjalan-jalan di hutan, rekreasi, berkemah, mengamati burung, memancing, arung jeram/rafting dan lainnya di dalam zona Pemanfaatan Taman Nasional Gunung Leuser. Taman Nasional Gunung Leuser juga meruapakan laboratorium alam yang terlengkap dan merupakan potensi besar untuk kegiatan penelitian serta kegiatan shooting film.

Potensi Kawasan :

Musim kunjungan terbaik adalah bulan Juni s/d Oktober. Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi, antara lain:

Gurah. Melihat dan menikmati panorama alam, lembah, sumber air panas, danau, air terjun, pengamatan satwa dan tumbuhan seperti bunga Rafflesia, Orang Utan, Burung, Ular dan Kupu-kupu.

Rehabilitasi Orangutan Bohorok. Melihat Orang Utan yang sedang diberi makan, selain itu terdapat panorama sungai, bumi perkemahan, dan pengamatan burung.

Kluet. Bersampan di sungai dan danau, trekking pada hutan pantai dan wisata goa. Daerah ini merupakan basis harimau.

Sekundur. Berkemah, wisata goa dan pengamatan satwa.

Ketambe dan Suak Belimbing. Penelitian primata dan satwa lain yang dilengkapi rumah peneliti dan perpustakaan.

Gunung Leuser (3.404 m dpl), dan Gunung Kemiri (3.314 m dpl). Memanjat dan mendaki gunung. Untuk kegiatan pendakian gunung, ada 2 (dua) puncak tertinggi yang dapat dijadikan Titik Tujuan Pendakian di samping puncak gunung lainnya.
Gunung Leuser (3404 M)

Perjalanan ke puncak Gunung Leuser dapat dimulai dari Agusan (sebelah barat Blangkejeren - Aceh Tenggara) dengan waktu tempuh diperkirakan 15 hari dan dari Panosan (Blangkejeren - Aceh Tenggara) dengan waktu tempuh diperkirakan 9 hari.

Obyek selain medan lapangan Gunung Leuser yang dapat dinikmati adalah hutan tropis yang masih perawan, hutan dataran tinggi yang lebat, hutan lumut padang bunga liar yang luas, harimau, rusa, burung dan satwa primata lainnya.
Gunung Kemiri (3314 M)

Perjalanan menuju puncak Gunung Kemiri dapat dimulai dari Gumpang (Aceh Tenggara - Propinsi DI Aceh) melalui lereng-lereng di sebelah barat Sungai Alas, dengan waktu tempuh diperkirakan selama 5 hari.

Obyek yang dapat dinikmati adalah hutan tropis yang perawan, panorama puncak Gunung Leuser dan Gunung Bendahara, Kota Kutacane, primata (Orang Utan, Gibbon, Siamang, Kera), Rusa, Harimau dan lainnya.

Arung Jeram Sungai Alas. Untuk kegiatan rafting menyusuri Sungai Alas, dapat dilakukan di lokasi:
Sungai Alas (Gurah - Aceh Tenggara) sampai ke Gelombang (Aceh Selatan) dengan pembagian rute, yakni:
Dari Gurah sampai Muara Situlen, waktu perjalanan selama 2 hari.
Gurah sampai Gelombang, waktu perjalanan selama 5 hari.
Dari Muara Situlen sampai Gelombang, waktu perjalanan 3 hari.

Sarana dan Prasarana yang Tersedia

Sarana dan prasarana yang tersedia di dalam obyek wisata antara lain : penginapan tradisional s/d bungalow, kantin/restaurant, visitor centre/tourist information, jalan setapak (trail) untuk menikmati hutan, sumber air panas, air terjun, areal berkemah, tower, shelter dan petugas pemandu Taman Nasional Gunung Leuser yang berpengalaman dan siap untuk berbagai kegiatan.

Obyek yang menarik untuk dinikmati berupa panorama alam hutan tropis dan perkampungan rakyat tradisional di sepanjang tepian Sungai Alas, medan sungai yang berarus tenang sampai deras dan jeram-jeramnya yang membawa keasyikan tersendiri dan memerlukan keberanian yang tinggi. Dan juga jenis satwa yang turun minum ke tepi sungai seperti primata, rusa, babi hutan, gajah, burung, dan mandi di Sungai Alas yang sejuk dan jernih.

Cara Mencapai Lokasi Taman Nasional :
Medan - Kutacane (+ 240 km), 8 jam dengan mobil.
Kutacane - Gurah/Ketambe (+ 35 km), 30 menit dengan mobil.
Medan - Bohorok/Bukit Lawang (+ 60 km), 1 jam dengan mobil.
Medan - Sei Betung Sekundur (+ 150 km), 2 jam dengan mobil.
Medan - Tapak Tuan (+ 260 km), 10 jam dengan mobil.
 
Sumber :
Picture : taken on august 8, 11, 2009 by Asep Gayo, Asep-Agus Bdg, Takengon-gayo lues-kutacane on trip
http://www.dephut.go.id/informasi/tamnas/tn1leu.html
http://www.matabumi.com/
 

Rabu, 09 Juni 2010

Kajian Aspek Historis Kawasan dalam Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan Sp. IV Bireuen


Kajian aspek ini merupakan suatu penelaahan tentang sejarah yang berkenaan tentang seluk-beluk perkembangan Bireuen mulai dari awal jaman kerajaan sampai kondisi sekarang setelah menjadi daerah otonom Kabupaten Bireuen yang di ambil dari berbagai sumber baik dari Forum Communitas Aceh, artikel, dan wawancara dengan berbagai kalangan baik dari instasi pemerintah maupun masyarakat.


A. Bireuen Pada Jaman Kerajaan (Iskandar Norman, Aceh Forum Community)

Kabupaten Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah Jeumpa. Dahulu Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh. Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa terletak di di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen.

Secara geografis, kerajaan Jeumpa terletak di daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Raja Jeumpa adalah putra dari Abdullah dan Ratna Kumala. Abdullah memasuki kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa.

Dia kemudian diterima oleh penduduk pribumi dan disediakan tempat tinggal. Kesempatan itu digunakan oleh Abdullah untuk memulai menjalankan misinya sebagai Da’i Muslim. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima agama Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah.

Abdullah akhirnya dinobatkan sebagai menjadi raja dan Ratna Keumala sebagai permaisuri di negeri Blang Seupeung tersebut. Raja Abdullah kemudian menamakan negeri yang dipimpinnya itu dengan nama “Jeumpa”. Sesuai dengan nama negeri asalnya yang bernama “Kampia”, yang artinya harum.

Raja Abdullah mengatur strategi keamanan kerajaan dengan mengadakan latihan perang bagi angkatan darat dan laut. Saat itu angkatan laut merupakan angkatan perang yang cukup diandalkan, yang dipimpin oleh seorang Laksamana Muda.

Raja Abdullah meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan dua orang anak, yaitu Siti Geulima dan Raja Jeumpa. Setelah Raja Jeumpa dewasa dia membangun benteng pertahanan di tepi Pantai, yaitu di Laksamana (sekarang Desa Lhakmana-red). Raja Jeumpa kemudian memperistri seorang putri anak Raja Muda yang cantik jelita, bernama Meureundom Ratna, dari Negeri Indra ( kira-kira daerah Gayo). Menurut rentetan sejarah, Meureudom Ratna masih ada hubungan keluarga dengan putri Bungsu.

Kakak Raja Jeumpa, Siti Geulima dipinang oleh seorang Raja di Darul Aman yang bernama Raja Bujang. Maka atas dasar perkawinan itu antara Kerajaan Jeumpa dengan Darul Aman ( sekarang Peusangan Selatan ) terjalin hubungan lebih erat. Sesuai dengan namanya “Darul Aman” yakni negeri yang aman sentosa..

Kerajaan Jeumpa pernah diperangi oleh pasukan Cina, Thailand dan Kamboja. Mereka pernah menduduki benteng Blang Seupeung. Disebutkan, peperangan tersebut terjadi karena Raja Cina menculik permaisuri Raja Jeumpa yang cantik jelita, Meureudom Ratna. Permaisuri Raja Jeumpa itu berhasil mereka bawa kabur sampai ke Pahang (Malaysia). Namun kemudian Meureudoem Ratna berhasil dibawa kembali ke Blang Seupeueng. Setelah Panglima Prang Raja Kera yang berasal dari Ulee Kareung , Samalanga, berhasil mengalahkan Raja Cina. Pada awal tahun 1989 dua pemuda Cina, laki – laki dan perempuan mengunjungi makan Raja Jeumpa. Kepada sesepuh desa mereka mengatakan berasal dari Indo Cina, Kamboja. Mereka sengaja datang ke lokasi kerajaan Jeumpa untuk mencari tongkat nenek moyangnya zaman dahulu. Konon tongkat emas Raja Cina tersebut jatuh dan hilang saat menyerbu kerajaan Jeumpa, yang kemudian ditemukan oleh Raja Jeumpa.

Tidak diketahui persis riwayat berakhirnya masa kejayaan kerajaan Jeumpa. Begitu juga dengan penyebab mangkatnya raja Jeumpa. Namun dari cerita turun-temurun, masyarakat di sana meyakini pusara Raja Jeumpa terdapat di atas sebuah bukit kecil setinggi 40 meter, yang ditumbuhi pohon-pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun. Makam raja itu hanya ditandai dengan batu-batu besar, yang berlokasi di dusun Tgk Keujruen, Desa Blang Seupeueng. Sedangkan makam isterinya, Maureudom Ratna, berada di Desa Kuala Jeumpa.

B. Bireuen Pada Jaman Kolonial (Pra Kemerdekaan)

Kerajaan-kerjaan kecil di Aceh tempo dulu termasuk Jeumpa mengalami pasang surut. Apalagi setelah kehadiran Portugis ke Malaka pada tahun 1511 M yang disusul dengan kedatangan Belanda. Secara de facto Belanda menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menduduki benteng Kuta Glee di Batee Iliek, di bagian barat Kabupaten Bireuen.

Kemudian dengan Surat Keputusan Vander Guevernement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Aceh dibagi menjadi enam Afdeeling (kabupaten) yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen. Salah satunya adalah Afdeeling Noord Kust van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang dibagi dalam tiga Onder Afdeeling (kewedanan).

Kewedanan dikepalai oleh seorang Countroleur (wedana) yaitu: Onder Afdeeling Bireuen (kini Kabupaten Bireuen), Onder Afdeeling Lhokseumawe (Kini Kota Lhokseumawe) dan Onder Afdeeling Lhoksukon (Kini jadi Ibu Kota Aceh Utara).

Selain Onder Afdeeling tersebut, terdapat juga beberapa daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan rakyatnya, yaitu Ulee Balang Keureutoe, Geureugok, Jeumpa dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik.

Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling diganti dengan Gun, Zelf Bestuur disebut Sun. Sedangkan mukim disebut Kun dan gampong disebut Kumi. (Iskandar Norman).

C. Bireuen Pada Paska Kemerdekaan RI

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Aceh Utara disebut Luhak, yang dikepalai oleh Kepala Luhak sampai tahun 1949. Kemudian, setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949, dibentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan beberapa negara bagian. Salah satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur, Aceh dan Sumatera Utara tergabung didalamnya dalam Provinsi Sumatera Utara.

Kemudian melalui Undang-Undang Darurat nomor 7 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom setingkap kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, maka dibentuklah Daerah Tingkat II Aceh Utara.

Keberadaan Aceh dibawah Provinsi Sumatera Utara menimbulkan rasa tidak puas masyarakat Aceh. Para tokoh Aceh menuntut agar Aceh berdiri sendiri sebagai sebuah provinsi. Hal ini juga yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953.

Pemberontakan ini baru padam setelah keluarnya Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1957 tentang pembentukan Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Aceh Utara sebagai salah satu daerah Tingkat dua, Bireuen masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara. (Iskandar Norman).

Konon saat jatuhnya Yogyakarta ibukota RI kedua masa agresi 1948, Presiden RI Soekarno hijrah ke 'Kota Juang', Bireuen, menginap di rumah kediaman Panglima Divisi X Bireuen (Pendopo Bupati Bireuen) sekarang. Selama seminggu Presiden RI di Bireuen selama itu pula Bireuen jadi ibukota RI dalam keadaan darurat.

Presiden Soekarno sempat foto bersama di depan rumah Panglima Divisi X dengan Gubernur Militer Aceh Tgk. Daud Beureueh, Panglima Divisi X Kolonel Hussein Joesoef dan sejumlah perwira Divisi X Komandemen Sumatera 16 Juni 1948. Masa itu pusat kemiliteran Aceh Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo di bawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef berdudukan di Bireuen dengan markas persenjataan militer dipusatkan di Juli Keude Dua, tiga setengah kilometer jaraknya dari Kota Bireuen.

Mayor Purn M Yusuf Ahmad, 88, veteran pejuang angkatan '45 warga Juli Keude Dua, salah seorang saksi hidup dan mantan Komandan Pasukan Tank Divisi X di Medan Area dalam bincang-bincang dengan Waspada, pekan lalu mengatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu menghargai jasa pahlawannya.

Peringatan 63 tahun Indonesia Merdeka di Bireuen terkesan sebagai seremoni belaka. Pasalnya, tak pernah menziarahi makam pahlawan lantaran Bireuen belum memiliki Taman Makam Pahlawan (TMP).

Dikatakan, para pejuang yang gugur dalam pertempuran di Medan Area masa itu jenazahnya tak mungkin dibawa pulang ke Bireuen. Ada yang dimakamkan di TMP Binjai ada pula yang dimakamkan di TMP Langsa, Aceh Timur. Para pejuang yang dimakamkan di TMP Langsa yang masih diingat, Geuchiek Mahmud Juli Blang Keutumba, Tgk. M. Yusuf Arifin, ujar Mayor Purn Yusuf Ahmad.

Sedangkan Panglima Divisi X Kolonel Hussein Joesoef yang berjasa dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan meninggal karena sakit lanjut usia tahun 1976 dimakamkan di Desa Glumpang Payong, Kecamatan Jeumpa, berdampingan dengan istrinya Letda Puen Ummi Salmah. Menurut M. Yusuf Ahmad lokasi pemakaman Panglima Husein Joeosoef sebaiknya dijadikan sebagai lokasi TMP 'Kota Juang' Bireuen, agar setiap peringatan hari Proklamasi dapat diziarahi oleh generasi penerusnya . (Waspada online)

Daerah pecahan Aceh Utara ini juga dikenal sebagai kota juang. Beragam kisah heroik terekam dalam catatan sejarah. Benteng pertahanan di Batee Iliek merupakan daerah terakhir yang diserang Belanda yang menyisakan kisah kepahlawan pejuang Aceh dalam menghadapi Belanda.

Kisah heroik lainnya, ada di kubu syahid lapan di Kecamatan Simpang Mamplam. Pelintas jalan Medan-Banda Aceh, sering menyinggahi tempat ini untuk ziarah. Di kuburan itu, delapan syuhada dikuburkan. Mereka tewas pada tahun 1902 saat melawan pasukan Marsose, Belanda.

Kala itu delapan syuhada tersebut berhasil menewaskan pasukan Marsose yang berjumlah 24 orang. Namun, ketika mereka mengumpulkan senjata dari tentara Belanda yang tewas itu, mereka diserang oleh pasukan Belanda lainnya yang datang dari arah Jeunieb. Kedelapan pejuang itu pun syahid. Mereka adalah : Tgk Panglima Prang Rayeuk Djurong Bindje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Bale Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Sjech Lantjok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, serta Nyak Ben Matang Salem Blang Teumeuleuk. Makan delapan syuhada ini terletak di pinggir jalan Medan – Banda Aceh, kawasan Tambue, Kecamatan Simpang Mamplam. Makam itu dikenal sebagai kubu syuhada lapan. (Aceh Forum Community).

D. Bireuen Pada Masa Tahun 2000-Sekarang

Kabupaten Bireuen dibentuk pada 12 Oktober 1999, melalui Undang Undang Nomor 48. Letak pada jalur Banda Aceh – Medan serta simpang menuju Aceh Tengah, membuat Bireuen sebagai daerah transit yang maju.

Daerah tingkat dua pecahan Aceh Utara ini termasuk dalam agraris. 52,2 persen wilayahnya pertanian. Kondisi itu pula yang membuat 33,05 persen penduduknya bekerja di sektor agraris. Sisanya tersebar di berbagai lapangan usaha seperti jasa perdagangan dan industri. Dari lima kegiatan pada lapangan usaha pertanian, tanaman pangan memberi kontribusi terbesar untuk pendapatan Kabupaten Bireuen. Produk andalan bidang ini adalah padi dan kedelai dengan luas tanaman sekitar 29.814 hektar. Sentra produksi padi terdapat di Kecamatan Samalangan, Peusangan, dan Gandapura. Untuk pengairan sawah, kabupaten ini memanfaatkan tujuh sungai yang semua bermuara ke Selat Malaka. Salah satunya, irigasi Pante Lhong, yang memanfaatkan air Krueng Peusangan. Padi dan kedelai merupakan komoditas utama di kabupaten ini.

Bireuen juga dikenal sebagai daerah penghasil pisang. Paling banyak terdapat di Kecamatan Jeumpa. Pisang itu diolah jadi keripik. Karena itu pula Bireuen dikenal sebagai daerah penghasil keripik pisang. Komoditas khas lainnya adalah giri matang, sejenis jeruk bali. Buah ini hanya terdapat di Matang Geulumpangdua.

Potensi kelautan juga sangat menjanjikan. Untuk menopang hal itu di Kecamatan Peudada dibangun Pusat Pendaratan Ikan (PPI). Selain itu ada juga budi daya udang windu. Sementara untuk pengembangan industri, Pemerintah Kabupaten Bireuen menggunakan kawasan Gle Geulungku sebagai areal pengembangan. Untuk kawasan rekreasi, Bireuen menawarkan pesona Krueng Simpo dan Batee Iliek. Dua sungai yang menyajikan panorama indah.

Berdasarkan fakta tersebut menjelaskan bahwa bireuen merupakan salah satu daerah di Provinsi NAD yang mempunyai sejarah penting baik dari sejarah penyebaran agama islam maupun sejarah perjuangan baik pada jalan kerajaan, maupun pada masa kolonial. Hal ini terbukti dari nama kerajaan yang bernama Jeeumpa (merupakan salah satu wilayah adminsitrasi Kecamatan di Kabupaten Bireuen). Kemudian pada masa kolonial belanda terjadi peperangan yang menewaskan beberapa pejuang di wilayah Bireuen, serta Bireuen sebagai tempat hijrahnya Presiden Soekarno pada saat jatuhnya Ibukota RI di Yogyakarta pada tahun 1948. Sehingga sampai saat sekarang Bireuen terkenal dengan nama Kota Juang yang dipakai salah satu Kecamatan hasil pemekaran dari Kecamatan Jeumpa pada tahun 2005 yaitu Kecamatan Kota Juang yang didalamnya terdapat Kawasan Perencanaan RTBL Kawasan Simpang IV.