I.
PENDAHULUAN
Penataan
ulang Pos Lintas Batas Negara (PLBN) merupakan bagian dari upaya penataan tempat
keluar masuk wilayah negara secara keseluruhan, baik keluar masuk orang maupun
barang yang saat ini diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
UU No. 6/2011
tentang Keimigrasian menyatakan bahwa fungsi keimigrasian di sepanjang garis perbatasan
dilaksanakan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yaitu tempat pemeriksaan di pelabuhan laut, bandar udara,
pos lintas batas, atau tempat lain sebagai tempat masuk dan keluar Wilayah
Indonesia, dan pos lintas batas
(PLB) yaitu tempat pemeriksaan pada jalur yang disepakati berdasarkan perjanjian
lintas batas dengan negara tetangga. UU No. 17/2006 tentang Kepabeanan
menyatakan bahwa kawasan pabean dengan
batas-batas tertentu terdapat di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain
yang ditetapkan untuk lalu lintas barang, dimana di kawasan pabean ini
didirikan pos pengawasan pabean, yaitu tempat yang digunakan oleh pejabat bea
dan cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan
ekspor. Sedangkan berdasarkan UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan
Tumbuhan, dinyatakan bahwa pelabuhan laut, pelabuhan sungai, pelabuhan penyeberangan,
bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain, dari tempat-tempat
lain yang dianggap perlu ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan dari/atau
mengeluarkan media pembawa hama dan penyakit hewan, hama dari penyakit ikan
atau organisme pengganggu tumbuhan.
Sebagian tempat
keluar masuk wilayah
negara telah dikelola oleh suatu unit manajemen khusus. Pelabuhan-pelabuhan
laut di Indonesia, termasuk di perbatasan, dikelola PT. Pelindo sebagai
operator pelabuhan, kecuali di kawasan-kawasan khusus yang diselenggarakan oleh
Badan Pengusahaan Kawasan (misalnya di Batam dan Sabang). Sedangkan bandar
udara selain ditangani Kementerian Perhubungan, sebagian dikelola oleh PT. Angkasa
Pura (Persero). Adapun untuk PLB Darat
dan PLB Laut (diluar pelabuhan laut yang dikelola PT. Pelindo), sebagian kecil telah
dikelola oleh administratur PLB berdasarkan Permendagri No. 18/2007 tentang
Standarisasi Pengelolaan Pos Lintas Batas.
Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa, tempat keluar masuk wilayah negara melalui PLB baik
di wilayah darat maupun laut belum dikelola secara maksimal oleh administratur
PLB secara profesional sebagaimana halnya dengan pengelolaan bandar udara dan
pelabuhan laut. Bahkan di sebagian besar PLB, administratur PLB sebagaimana
diatur dalam Permendagri No. 18/2007 sama sekali belum berjalan. Hal ini
menyebabkan kawasan PLB pada umumnya belum tertata dengan baik, belum didukung oleh pemeriksaan
dan pelayanan lintas batas secara lengkap, dan memiliki sarana dan prasarana
yang alakadarnya.
Penerbitan Perpres No. 12/2010 tentang Badan
Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) merupakan momentum untuk mewujudkan pengelolaan
PLB secara lebih terpadu dan profesional. Namun demikian, peranan BNPP dalam
pengelolaan PLB belum terumuskan jelas dalam Permendagri No. 18/2007, sehingga
diperlukan reformulasi
kebijakan pengelolaan PLB yang mampu mengoptimalkan peranan Badan Nasional
Pengelola Perbatasan sesuai tugas dan fungsinya.
II. ISU-ISU STRATEGIS
Beberapa isu
strategis dalam pengelolaan PLB dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Perbedaan Pendefinisian Pos Lintas Batas. Pihak Imigrasi menyatakan terdapat 79 Pos Lintas
Batas yang disepakati berdasarkan perjanjian lintas batas negara. Namun, pihak
karantina ikan menyatakan hanya terdapat 4 pos perbatasan sebagai Tempat
Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina
(Entikong, Mota’ain, Napan, dan Metamauk). Demikian pula, pihak karantina hewan menyatakan
hanya terdapat 3 pos perbatasan yang ditetapkan sebagai balai atau stasiun
karantina hewan (Mota’ain, Entikong, dan Skouw). Hal ini
disebabkan adanya perbedaan pendefinisian “PLB” pada peraturan di masing-masing
sektor. “Pos perbatasan” pihak karantina hanya mengacu kepada definisi PLB/TPI
darat pada peraturan keimigrasian, sedangkan sebagian pelabuhan laut yang
ditetapkan oleh pihak imigrasi sebagai PLB Laut tidak didefinisikan pihak
karantina sebagai PLB.
2.
Pola Pembangunan
PLB Bersifat Parsial dan Sektoral. Aktivitas lintas batas di Indonesia ditangani oleh berbagai instansi terkait (Bea
Cukai, Imigrasi, dan Karantina, ditambah TNI dan POLRI) yang bekerja sesuai
amanat peraturan perundang-undangan masing-masing. Ketiadaan pola koordinasi
yang jelas menyebabkan upaya pembangunan PLB berlangsung secara parsial dan
sektoral yang menyebabkan setiap
instansi berjalan sendiri-sendiri, bahkan memunculkan tumpang tindih (overlapping) antara satu instansi dengan
yang lainnya. Mobilisasi sarana dan prasarana setiap instansi, termasuk instalasi
bangunan pos, dilakukan tanpa mengacu kepada standar dan penataan ruang
bersama, estetika kawasan, maupun efisiensi prosedur pelayanan bagi pelintas
batas.
3.
Ketidakjelasan
Tugas Pengelola PLB. Di dalam Permendagri No. 18/2007 tentang standarisasi PLB, dinyatakan
bahwa PLB dikelola oleh administratur Pos Lintas Batas. Dalam implementasinya di lapangan, kebijakan ini ternyata
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Di wilayah Nunukan misalnya, para petugas
CIQ tidak mengetahui keberadaan administratur PLB yang berperan dalam
koordinasi pengelolaan PLB. Kurangnya implementasi
kebijakan administratur PLB disebabkan oleh ketidakjelasan tugas dan fungsi dan
tata kerja dari Administratur PLB dalam pengelolaan PLB. Permendagri No. 18/20007
hanya mengatur 4 (empat) hal utama terkait administratur PLB yaitu pengaturan
mengenai penunjukkan administratur PLB; pendanaan pembangunan dan pengelolaan
PLB; pelaporan pembangunan dan pengelolaan PLB; dan Penyediaan lahan. Sedangkan
tugas, fungsi, serta tata kerja Administratur PLB dalam pengelolaan
(perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian) PLB tidak diatur secara
rinci.
4.
Belum Adanya
Mekanisme Formal Koordinasi dan Kolaborasi Lintas-Intansi di PLB. Sebagai
implikasi dari kebijakan yang bersifat sektoral dan tidak optimalnya peranan
administratur PLB dalam mengintegrasikan pembangunan dan pengelolaan PLB, maka
operasionalisasi tugas instansi terkait di PLB berjalan sendiri-sendiri, serta
tidak memperoleh “support system”
yang memadai. Permasalahan koordinasi dalam pelaksanaan pemeriksaan lintas
batas misalnya seringkali diselesaikan secara informal di lapangan, yang tentu
saja pola seperti ini tidak memadai untuk menangani persoalan-persoalan yang
kompleks. Demikian
juga permasalahan pemenuhan support
system seperti ketersediaan listrik, air bersih, dan prasarana dasar lainnya
seringkali tidak jelas penanganannya karena tidak ada instansi yang secara
khusus berwenang menangani permasalahan tersebut di PLB. Kondisi ini terjadi
karena tidak adanya mekenisme koordinasi
dan kolaborasi yang disepakati secara formal lintas instansi.
5.
Belum Adanya
Prosedur Pelayanan Yang Baku Dalam Pemeriksaan dan Pelayanan Lintas Batas. Selama ini aktivitas pemeriksaan dan pelayanan lintas
batas masih menggunakan standar operasional dari masing-masing instansi
yang terlibat di PLB dan belum ada SOP yang mengintegrasikan aktifitas dan
kinerja instansi yang terlibat langsung di PLB. Situasi ini akan cenderung
memunculkan ego sektoral dalam menjalankan fungsi dan tugas di lapangan. Tumpang tindih dalam prosedur pemeriksaan
masing-masing instansi di lapangan juga kerap terjadi, yang biasanya bersumber
dari penafsiran kebijakan secara sektoral. Misalnya, lazim terjadi overlapping peran dalam melaksanakan
pemeriksaan di garis depan karena masing-masing instansi merasa paling
berwenang untuk melakukan pemeriksaan di lini pertama.
6.
Minimnya Jumlah
dan Kualitas Petugas yang Berjaga di PLB. Secara umum sumber daya
manusia (SDM) aparat yang bertugas di PLB masih minim. Pada PLB Mota’ain di
Provinsi Nusa Tenggara Timur misalnya, petugas imigrasi, bea cukai dan karantina
yang bertugas rata-rata berjumlah 3 orang dari idealnya 5 orang yang seharusnya
bertugas. Kondisi seperti ini bisa jadi terkait dengan aktivitas di PLB dimana
pada jam-jam tertentu agak lengang, sementara pada jam-jam sibuk cukup
merepotkan petugas. Selain persoalan
masih minimnya jumlah petugas yang ditempatkan di sejumlah PLB oleh instansi
terkait, hal ini semakin diperburuk dengan masih rendahnya kualitas SDM yang
bertugas di PLB, terutama kemampuan dalam berbahasa asing (bahasa Inggris).
Padahal jika melihat fungsi PLB sebagai exit
entry point dimana pelintas batas sangat beragam dan dari berbagai negara,
maka kebutuhan akan kemampuan petugas PLB terhadap bahasa asing terutama bahasa
Inggris adalah sebuah keharusan.
7. Model dan Pengaturan Tata Letak Bangunan PLB Belum
Sesuai Urutan Prosedur Pemeriksaan dan Kesepakatan Antar Negara. Sebagian besar bangunan PLB
di Indonesia memiliki kantor keimigrasian, karantina, dan imigrasi yang
terpencar-pencar dan tidak mencerminkan urutan prosedur pemeriksaan. Hal ini
misalnya terjadi di PLB Belakang
Padang dan Metamauk/Motamasin,. Di beberapa PLB, misalnya di Entikong dan
Mota’ain, tempat
pemeriksaan utama masih terlalu mepet dengan garis batas, tidak ada daerah
steril sesuai kesepakatan dengan negara tetangga. Permasalahan tata
bangunan juga terjadi pada efektifitas layout (tata letak) bangunan bagi
penyelenggaraan pelayanan lintas batas secara cepat. Misalnya di Aruk Kabupaten Sambas terdapat pintu lalu-lintas seperti gerbang tol yang diraskan tidak efektif dipakai terutama bangunan bagian tengah.
8. Fasilitas
untuk Mendukung Pemeriksaan Masih Minim. Banyak PLB
belum memiliki fasilitas pendukung yang penting dimiliki sebuah pos perbatasan
seperti jembatan timbang, jalur antrian, scanner x-ray, pengukur suhu tubuh manusia, dan
sebagainya. Hal ini disebabkan keterbatasan sarana pendukung misalnya minimnya
pasokan listrik, minimnya kapasitas tenaga operator/SDM, serta keterbatasan
anggaran bagi pengadaan fasilitas pendukung.
9. Terhambatnya Pembangunan Sarana dan Prasarana PLB Karena Kesulitan Penyediaan Lahan. Beberapa pengalaman menunjukan
kesulitan dalam penyediaan lahan menjadi faktor penyebab terhambatnya
pengembangan PLB, misalnya PLB Skouw yang terhambat oleh klaim lahan adat. Demikian
pula rencana pengembangan PLB Aruk yang secara detail telah dituangkan dalam Rencana Master Plan namun terhambat status kepemilikan tanah masyarakat yang tidak secara
sepenuhnya bisa melepas bagi kepentingan pemerintah.
Masalah penyediaan tanah ini tidak mudah, seringkali
diperlukan usaha sangat panjang dan proses yang lama
sementara kebutuhan akan pemenuhan dan pembangunan sarana prasarana PLBN
sangat mendesak.
10.Minimnya Sarana dan Prasarana Penunjang.
Sebagian besar PLB belum dilengkapi oleh sarana dan prasarana
penunjang yang penting bagi operasionalisasi PLB seperti jalan, listrik, air
bersih, dan telekomunikasi. Selain
sarana dan prasarana dasar yang minim tersebut, kawasan PLB minim dari dukungan
fasilitas yang lainnya seperti untuk kegiatan transaksi jual beli barang dan
makanan, tempat istirahat dan hiburan ruang publik (ruang terbuka hijau/taman, dan ruang terbuka non hijau/open space), tempat hiburan, souvenir,
penginapan, sehingga yang tampak adalah kesan bahwa PLB yang tidak menarik dan
representatif untuk dikunjungi.
III. ARAHAN PENGEMBANGAN PENATAAN POS LINTAS BATAS NEGARA
Berdasarkan
hasil analisis isu strategis di atas, beberapa arahan pengembangan yang
dapat dirumuskan bagi penataan PLB adalah sebagai berikut :
1.
Perlu penyamaan definisi PLB yang dijadikan acuan bersama
instansi-instansi terkait. Istilah “PLB Negara (PLBN)” dapat digunakan untuk
merujuk seluruh tempat keluar masuk wilayah negara baik di darat maupun di laut
yang ditetapkan berdasarkan Kesepakatan Kerjasama Bilateral antara Republik
Indonesia dan Negara Tetangga sebagaimana tertulis dalam dokumen perjanjian
lintas batas. Hal ini diperlukan agar tempat-tempat keluar masuk yang
disepakati tersebut dapat dikembangkan secara bersama-sama oleh berbagai
instansi terkait, dan didukung oleh fasilitas yang lengkap dengan standarisasi
tertentu. Sesuai standar internasional, pengelolaan lintas batas negara minimal
dilakukan oleh tiga unsur yaitu kepabeanan (C), imigrasi (I), dan karantina
(Q). Namun selain ketiga fungsi tersebut dapat juga diselenggarakan
fungsi-fungsi lain yang diperlukan sesuai kebutuhan, seperti keamanan,
pertahanan, perdagangan, dll namun
ditempatkan diluar tempat pemeriksaan utama.
2.
Perlu klasifikasi PLBN berdasarkan volume lintas barang dan orang
yang berimplikasi kepada skala, jenis, dan jumlah sarana dan parsarana yang
perlu dibangun di PLBN beserta kawasan penunjangnya.
3.
Dalam aspek pengelolaan, diperlukan revisi Permendagri No. 18/2007
dengan memperkuat peranan BNPP dalam pengelolaan PLBN. Berdasarkan UU No. 43/2008
dan Perpres No. 12/2010, BNPP adalah satu-satunya institusi yang memiliki tugas
dalam penetapan kebijakan, penetapan rencana, koordinasi pelaksanaan, serta
evaluasi dan pengawasan dalam pengelolan batas wilayah dan pembangunan kawasan
perbatasan. Tugas tersebut diselenggarakan tanpa mengambil alih kewenangan,
tugas, dan fungsi dari K/L terkait. Berdasarkan hal tersebut, dalam konteks pengelolaan PLBN, strategi yang
paling memungkinkan untuk diterapkan di
Indonesia adalah dengan “memperkuat koordinasi dan kolaborasi diantara
instansi-instansi CIQ terkait untuk meminimalisir kelemahan pola pengelolaan
secara sektoral/parsial”. Sebagai pengejawantahan strategi tersebut, perlu
dibentuk suatu “unit manajemen” sebagai kepanjangan tangan BNPP di PLBN untuk
mendukung koordinasi CIQ yang saat ini telah ada di PLB oleh instansi terkait.
4.
Area dukungan yang diberikan unit manajemen bagi instansi di PLBN meliputi bidang perencanaan dan pendanaan; koordinasi
pelaksanaan; pengendalian dan pengawasan; serta basis data. Dukungan ini
diberikan agar setiap institusi tetap dapat menjalankan tupoksinya sesuai aturan
perundang-undangan masing-masing tapi dalam arahan kebijakan yang dikoordinasikan
oleh Unit Manajemen. Unit Manajemen memiliki tugas untuk: (a) Menyusun dan
mengusulkan rencana pengelolaan PLBN kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sesuai standarisasi dan tata ruang yang ditetapkan beserta kebutuhan
pembiayaannya; (b) Mengkoordinasikan pelaksanaan pembangunan sarana dan
prasarana oleh instansi terkait di PLBN; (c) Melakukan pengendalian dan pengawasan;
(d) Melakukan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data-data lintas batas
melalui koordinasi dengan instansi terkait; dan (e) Memfasilitasi ketersediaan sarana
prasarana penunjang dan operasional Pos Lintas Batas Negara.
5.
Tata kerja pengelolaan PLBN oleh Unit Manajemen dapat
diselenggarakan sebagai berikut :
a. Perencanaan
dan Pendanaan. Unit Manajemen PLBN menyusun rencana kebutuhan pengelolaan PLB
dan mengkomunikasikannya kepada pihak terkait untuk pembiayaannya. Dalam hal
pembangunan infrastruktur pada Tempat Pemeriksaan Utama dan pada kawasan
penunjang perlu mengacu kepada suatu Rencana Detail Tata Ruang serta standar
yang telah ditetapkan. Pengelolaan CIQ pada Tempat Pemeriksaan Utama merupakan
urusan pusat sehingga pembiayaannya dapat bersumber dari dana APBN, Sedangkan
pembangunan sarana prasarana penunjang kawasan PLB merupakan urusan bersama (concurrent) sehingga pembiayaannya dapat
bersumber dari dana APBN atau APBD disesuaikan dengan kewenangan
pembangunannya. Pengusulan dana APBN dilakukan oleh unit manajemen PLB kepada
BNPP untuk selanjutnya dikoordinasikan kepada Kementerian/Lembaga terkait,
sedangkan pengusulan dana APBD dilakukan oleh Unit Manajemen PLB kepada BPPD
untuk selanjutnya dikoordinasikan kepada SKPD terkait. Kebutuhan pembangunan
kawasan PLB yang bersumber dari pihak swasta misalnya perbankan, money changer,
dan sebagainya juga perlu dikoordinasikan dan difasilitasi oleh Unit Manajemen PLB.
b. Koordinasi
Pelaksanaan. Unit Manajemen PLB mengkoordinasikan proses pembangunan oleh berbagai
instansi pusat, daerah, dan swasta agar pelaksanaannya dapat berjalan sesuai
dengan rencana yang ditetapkan. Koordinasi dilakukan untuk menangani berbagai
permasalahan yang dapat menghambat proses pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah dan swasta. Adapun penyediaan
lahan pembangunan PLB menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah dibawah
koordinasi Unit Manajemen PLB. Penyediaan aparatur, sarana, dan prasarana juga
disediakan oleh masing-masing instansi dengan mengacu kepada standar yang
ditetapkan oleh Unit Manajemen PLB.
c. Pengendalian dan Pengawasan. Unit
Manajemen PLB melakukan monitoring, evaluasi, dan pengawasan secara berkala
terhadap kegiatan pengelolaan PLB, termasuk terhadap prosedur pemeriksaan oleh
instansi terkait agar sesuai dengan SOP yang disepakati. Unit Manajemen PLB
juga perlu mengembangkan sistem pengawasan oleh masyarakat melalui kotak pos
pengaduan, SMS gratis pengaduan atau metode lain yang dipandang perlu. Berbagai
permasalahan yang diperoleh dari hasil monitoring, evaluasi, dan pengawasan
ataupun pelanggaran-pelanggaran perlu dikomunikasikan kepada institusi terkait
di lapangan untuk memperoleh solusi penanganan. Dalam hal permasalahan yang
memerlukan penanganan pada level yang lebih tinggi, hasil monitoring, evaluasi,
dan pengawasan dilaporkan kepada BNPP untuk dikoordinasikan lebih lanjut
penanganannya kepada instansi terkait di tingkat pusat dan provinsi.
d. Basis Data. Unit Manajemen PLBN berhak memperoleh data yang terkait
dengan kinerja pelayanan lintas batas dan data lainnya dari instansi terkait di
PLB, untuk selanjutnya didokumentasikan, diolah, didistribusikan, dan
dipublikasikan kepada pihak-pihak terkait
6.
Diperlukan penetapan SOP baku yang disepakati bersama
dalam aktivitas pemeriksaan dan pelayanan lintas batas oleh instansi terkait
untuk menghindari overlapping dan mempertagas urutan prosedur pemeriksaan.
Urutan prosedur pemeriksaan juga perlu dimanifestasikan dalam model dan
pengaturan tata letak bangunan.
7.
Kebutuhan SDM dalam pengelolaan Pos Lintas Batas Negara, disesuaikan dengan
tingkat/klasifikasi/kebutuhan PLBN itu sendiri. Dimana masing-masing instansi
CIQ mempunyai standar dan kewenangan dalam menentukan kriteria serta kualifikasi personil yang mampu untuk
ditugaskan di PLBN. Sedangkan untuk manajer pada unit manajemen kawasan PLBN merupakan pejabat pusat yang ditunjuk
oleh Kepala BNPP dengan pertimbangan efektifitas dalam mengkoordinasikan
instansi terkait di PLBN yang merupakan unit-unit dari instansi pemerintah
pusat. Pengusulan manajer tersebut dapat dilakukan oleh Gubernur.
8.
Diperlukan masterplan PLBN yang baku
sesuai dengan kaidah perencanaan termasuk dalam pengaturan site plan rinci
setiap fungsi ruang kegiatan untuk PLB yang sesuai standar dan peraturan
perundangan berlaku serta disepakati oleh negara tetangga. Terkait dengan upaya tersebut diatas untuk kedepannya
dalam perencanaan kawasan PLB harus mencakup kawasan inti dan kawasan penyangga kawasan, hal ini dimaksudkan kawasan tersebut
terintegrasi dengan kawasan diluar tersebut dan tidak ada kesan ekslusif namun
tetap mempunyai satu kesatuan kawasan yang berkembang dan tertata rapi.
9.
Diperlukan pengadaan
kelengkapan fasilitas PLBN sesuai dengan standar yang ada (BCM, scanner, x-ray, jembatan timbang, dan sebagainya) dan
dukungan kelengkapan sarana perkantoran sesuai kebutuhan. Penyediaan
berbagai fasilitas modern di PLBN harus
didukung oleh dukungan infrastruktur penunjang lainnya (listrik, jalan, dan sebagainya), serta tenaga operator yang mumpuni di bidangnya.
10. Perlunya dukungan prasarana dan sarana perhubungan
untuk meningkatkan akses dari dan ke menuju PLBN dan membuka keterisolasian kawasan perbatasan. Pembangunan prasarana transportasi berikut dengan
kesiapan moda angkutan dari dan ke PLBN mendesak untuk dilakukan, sehingga kawasan-kawasan atau daerah lintasan menuju
PLBN pada gilirannya akan berkembang, namun
dari sejak awal kawasan tersebut termasuk kedalam kawasan yang diperlukan
penataannya berdasarkan skala prioritas pembangunan.
11. Perlunya dukungan utilitas (listrik, telepon, air
bersih) yang memadai untuk kelangsungan kegiatan PLBN. Penyediaan sarana utilitas sangat diperlukan bagi upaya
kelangsungan kegiatan di area gedung/bangunan dan kawasan PLBN (terutama untuk mendukung keseharian para
pegawai/petugas PLBN) di lingkungannya.
12. Perlunya penataan kawasan PLBN yang berkesan
kaku menjadi area yang mempunyai magnet untuk tertarik dikunjungi dan berkesan friendly dan greeny serta didukung oleh sarana-sarana seperti area perdagangan
dan jasa, tempat akomodasi, art zone, ruang terbuka hijau, ruang publik dan
lain-sebagainya. Hal ini penting untuk dilakukan agar PLBN tidak terkesan ekslusif serta diusahakan tidak saja untuk masyarakat
lokal tetapi mempunyai daya tarik untuk mendatangkan masyarakat luar Indonesia
yang mendatangi PLBN tersebut.
13.
Perlunya sosialisasi
kepada Pemerintah Daerah agar dapat memfasilitasi ketersediaan lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana
Pos Lintas Batas. Negara. Aparat Pemda perlu mensosialisasikan
tentang kepentingan dan atau nilai urgensi PLBN di kawasan perbatasan yang merupakan kepentingan untuk semua pihak
dengan tidak mengesampingkan hak-hak ulayat kawasan PLB tersebut.
IV.
PENUTUP
Penataan
PLBN dalam aspek pengelolaan maupun pembangunannya di seluruh tempat keluar
masuk berdasarkan Kesepakatan Kerjasama Bilateral
antara Republik Indonesia dan Negara Tetangga sebagaimana tertulis dalam
dokumen perjanjian llintas batas, melalui revisi Permendagri No. 18/2007 mendesak
untuk dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar PLBN dapat berfungsi dengan baik
sebagai tempat keluar masuk wilayah negara seperti halnya tempat keluar masuk
wilayah negara lainnya di bandar udara dan pelabuhan-pelabuhan laut, khususnya
dalam memfasilitasi aktivitas lintas batas masyarakat setempat secara tertib, aman, dan legal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar