Rabu, 20 Februari 2013

Review Status, Kondisi, Dan Letak Geografis Pos Lintas Batas Sebagai Gerbang Pertumbuhan Ekonomi Regional Perbatasan Antar Negara




(Oleh : Team PT. Pillar Pusaka Inti Konsultan, Jakarta, 2012)


I.              Latar Belakang
Kajian “Review Status, Kondisi, dan Letak Nilai Strategis Pos Lintas Batas negara” didasarkan pada permasalahan : (1) Status keberadaan PLB sebagai hasil kesepakatan/perjanjian bilateral kedua Negara yang diindikasikan di beberapa titik kurang jelas; (2) Beberapa PLB di wilayah RI tidak memiliki pasangan PLB di wilayah negara tetangga; (3) Sebagian besar PLB tidak dikelola secara terpadu dengan kondisi sarana prasarana penunjang yang terbatas; (4) PLB belum dimaksimalkan pengelolaannya sebagai gerbang pertumbuhan ekonomi regional perbatasan antar negara.

Maksud pelaksanaan pekerjaan ini ialah sebagai upaya untuk menemukan postur utuh dan kapasitas riil yang ada di lapangan tentang keberadaan Pos Lintas Batas Negara, dengan tujuan untuk : (1) Menilai status dan kondisi Pos Lintas Batas Negara di perbatasan; (2) Menilai letak strategis Pos Lintas Batas Negara di perbatasan; (3) Mengkompilasi kondisi eksisting Pos Lintas Batas Negara; (4) Memberikan rekomendasi tentang PLB yang memiliki nilai strategis untuk dikembangkan; dan (5) Memberikan rekomendasi tentang PLB yang tidak layak untuk dipertahankan karena alasan tertentu.

II.      Hasil analisis 

A. Hasil review terhadap PLB yang disepakati dalam perjanjian lintas batas adalah sebagai   berikut :
Seluruh PLB tradisional yang ditetapkan dan disepakati dalam perjanjian lintas batas pada umumnya dalam kondisi aktif, dalam arti terdapat aktivitas pelintas batas yang bersifat tradisional namun volumenya di sebagian besar PLB  relatif kecil. Hal ini disebabkan aktivitas dilakukan oleh komunitas lokal yang berorientasi kepada tujuan sosial budaya dan perdagangan lintas batas tradisional dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari.  
Ditinjau dari jarak PLB/TPI ke pusat pertumbuhan ekonomi terdekat, sebagian besar PLB dinilai memiliki jarak sedang, Tidak seluruh PLB dikembangkan untuk tujuan pengembangan ekonomi dimana kedekatan dengan pusat pertumbuhan ekonomi menjadi satu prasyarat, namun sebagian besar dibuka untuk tujuan sosial budaya masyarakat setempat (kemudahan berkebun, berburu, kunjungan kekeluargaan, dll) yang tidak berkaitan dengan kepentingan pengembangan ekonomi regional.
Ditinjau dari kemudahan aksesibilitas menuju PLB, sebagian besar PLB dinilai memiliki aksesibilitas sulit. Hal ini mengkonfirmasi bahwa kondisi infrastrukur terutama perhubungan/transportasi pada kawasan perbatasan di sekitar PLB pada umumnya masih buruk dan memerlukan perhatian serius  dari pemerintah.
Ditinjau dari kelengkapan instansi CIQS, sebagian besar PLB dinilai tidak memiliki kelengkapan sarana dan prasarana CIQS yang memadai. Hal ini mengkonfirmasi bahwa kecilnya volume lintas batas yang melintasi suatu PLB serta sifat perlintasan yang bersifat tradisional menyebabkan tidak seluruh PLB dikembangkan sarana dan prasarana CIQS secara memadai. Untuk itu diperlukan klasifikasi PLB berdasarkan volume lintas batas yang dilayaninya untuk menentukan skala pengembangan sarana prasarananya, termasuk CIQS.
Ditinjau dari potensi pengembangan ekonomi, sebagian besar PLB dinilai memiliki potensi pengembangan ekonomi skala internasional. Persepsi ini terkait dengan kedekatan PLB dengan jalur perdagangan internasional. Misalnya PLB di Riau dan Kepri yang berdekatan dengan Selat Malaka yang dinilai memiliki potensi besar untuk dikembangkan dengan memanfaatkan peluang perdagangan dan investasi global.

B. Hasil review terhadap PLB/TPI studi kasus (Pelabuhan Dumai, PLB/TPI Belakang Padang, Pelabuhan/TPI Tanjung Uban, PPLB Lamijung, PLB/TPI Napan, dan PLB Jagoi Babang mengindikasikan seluruh PLB dapat dikembangkan sebagai pintu gerbang bagi aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara karena dari aspek lokasi telah menjadi perhatian dan prioritas dalam berbagai  kebijakan nasional (MP3EI, RTRWN), dan perlu dioptimalkan untuk mengoptimalkan peluang kerjasama regional (ASEAN connectivity)/sub regional (KESR). Beberapa titik sudah dapat berfungsi optimal, namun sebbagian lainnya belum dapat dioperasikan secaara efektif karena terkendala permasalahan terkait dengan kesepakatan dengan negara tetangga (PLB Jagoi Babang) dan atau izin operasional (PLB Lamijung)
C. Hasil Analisa SWOT menegaskan bahwa terdapat peluang pengembangan PLB sebagai pusat pertumbuhan yang bersumber dari dinamika perekonomian global, regional, dan sub regional seperti Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), ASEAN connectivity,  ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA). IMT-GT, IMS-GT, AIDA, BIMP EAGA. Dari sisi kebijakan nasional, terdapat peluang untuk mengembangkan kawasan perbatasan sebagai “pintu gerbang” aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga yang dapat meliputi seluruh  lokasi tempat keluar masuk wilayah negara (exit-entry point) berupa pelabuhan laut internasional, bandar udara internasional, pelabuhan penyeberangan antar negara, atau pos lintas batas tradisional/internasional yang berada di 10 kawasan perbatasan negara. Dukungan lain yang bersifat nasional yaitu adanya kebijakan nasional yaitu dalam RTRWN beberapa kutub pertumbuhan di kawasan perbatasan yang ditetapkan sebagai Pusat Kawasan Strategis Nasional (PKSN), Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Perbatasan Negara (RTR KSN PN) dan dalam MP3EI ditetapkan sebagai pusat kegiatan ekonomi (PKE). Memperhatikan berbagai peluang tersebut, , maka titik-titik exit-entry point yang potensial dikembangkan sebagai gerbang pusat pertumbuhan ekonomi regional adalah PLB/TPI yang berada di lokasi-lokasi yang menjadi perhatian kebijakan nasional dan regional serta dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi di negara tetangga.  Hal ini dengan mempertimbangkan TPI adalah tahap perkembangan selanjutnya dari suatu PLB tradisional, karena peningkatan status PLB menjadi TPI sudah mempertimbangkan adanya potensi mobilitas barang dan orang yang tinggi.
D. Pengembangan PLB sebagai gerbang pusat pertumbuhan ekonomi regional dapat dikembangkan dalam beberapa model  sebagai berikut :

D.1 PLB Laut 

Berdasarkan hasil analisa dan kesimpulan sebelumnya maka rekomendasi pengembangan PLB Laut terkait dengan potensi pengembangan :
1.    Kegiatan industri baik skala besar maupun skala kecil/tradisional

Kawasan industri di perbatasan laut dapat dibangun dekat pelabuhan dan disesuaikan dengan luas kawasan atau pulau tersebut. Kawasan industri yang dikembangkan sebaiknya tidak bersifat footlose industry, namun berbasis kepada potensi ekonomi kelautan dan perikanan yang ada untuk mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat setempat.

2. Perdagangan baik skala besar maupun skala kecil/tradisional, Ekonomi kelautan seperti perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Diperlukan outlet bagi masyarakat untuk memasarkan hasil-hasil tangkapan/budidayanya. Outlet ini bisa berupa pasar tradisional ataupun Tempat Pelelangan Ikan/TPI

3. Kepelabuhanan dan jasa logistik pelayaran, perlu dilengkapi dengan berbagai fasilitas kepelabuhanan seperti dermaga, terminal penumpang, lapangan penumpukan, lapangan penimbunan kontainer, gudang, fasilitas perkantoran, fasilitas CIQ dan pos keamanan, peralatan kepelabuhanan (alat navigasi, kapal tunda, crane, foklift, dll), fasilitas listrik dan air bersih, serta fasilitas pendukung lainnya.
4.  Jasa lingkungan seperti wisata bahari. Kawasan wisata bahari di sekitar Pos Lintas Batas perlu dilengkapi dengan fasilitas perhotelan, restoran, tempat penukaran mata uang, dan toko cindera mata serta persewaan alat wisata laut untuk turis-turis dari negara tetangga ataupun negara lain. Mengingat lokasinya di kawasan perbatasan, turis akan memperoleh keuntungan jika disediakan fasilitas keimigrasian yang cepat, tertib, dan mudah, namun tetap menjaga keamanan.
·        
D.2 PLB Darat 
Berdasarkan hasil analisa dan kesimpulan sebelumnya maka rekomendasi pengembangan PLB Darat terkait dengan potensi pengembangan adalah dengan penggabungan pengembangan PLB model transito dan agropolitan.
1.       Model Transito
       Model pengembangan  ini tidak diperlukan dryport atau terminal, karena dapat dibangun di pusat pertumbuhan negara masing-masing. Untuk keperluan mempercepat proses dan keamanan lintas barang dan orang, selain PPLB sebagai fasilitas standar di perbatasan, dalam model ini juga perlu dikembangkan beberapa fasilitas lain seperti welcome plaza dan kawasan permukiman yang pengembangannya disesuaikan dengan kebutuhan seperti Perbankan dan money changer, Perhotelan dan rumah makan, Usaha untuk mengurus surat-surat dan jasa keimigrasian,    Usaha - usaha pertokoan, pasar, Cinderamata, Bengkel, Pos dan telekomunikasi, listrik, air dan jasa-jasa lainnya. Namun jika interaksi di perbatasan sudah masuk pada skala industri dengan pertukaran modal, bahan baku, teknologi, dan tenaga kerja terlatih, maka diperlukan infrastrukur bisnis yang cukup besar dan berskala internasional

2.       Model Agropolitan
       Model pengembangan agropolitan diperlukan penyediaan fasilitas pelayanan seperti tersedianya gudang-gudang sarana penyimpanan, pengawetan dan fasilitas pengangkutan. Selain itu dipusat pertumbuhan baru di kawasan perbatasan kedua negara harus ada pusat pengolahan hasil pertanian. Selain itu, berkembangnya kawasan ini tidak saja untuk transit, tetapi menjadi kawasan bisnis atau bahkan kawasan sentra produksi sehingga membutuhkan fasilitas-fasilitas lain, baik prasarana fisik maupun aturan-aturan kelembagaan lainnya.
     


E. PLB yang tidak memiliki nilai strategis ekonomi tidak harus selalu dipersepsikan “tidak berguna” dan harus ditutup. Tidak seluruh PLB harus dikembangkan sebagai gerbang pertumbuhan ekonomi regional perbatasan, namun sesuai dengan filosofi pembentukannya PLB pada awalnya dibuka untuk mengakamodosi pergerakan lintas batas tradisional masyarakat lokal yang sudah berlangsung lama dan memiliki tujuan—tujuan sosial budaya. Hal ini misalnya sering terjadi kawasan perbatasan Timor Leste, dimana volume lintas batas kecil namun keberadaan PLB sangat diperlukan untuk mengakomodir kebutuhan mobilitas masyarakat lokal agar tidak melanggar peraturan perundangan yang berlaku. Perkembangan sosial dan ekonomi serta infrastuktur transportasi dapat mengubah perilaku mobilitas lintas batas tradisional penduduk lokal. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian lanjutan secara mendalam di setiap titik untuk memutuskan PLB mana yang sudah tidak dipergunakan masyarakat untuk mendukung aktivitas kehidupan sehari-harinya.

III.        Rekomendasi indak Lanut
1. Prioritas pengembangan PLB sebagai pintu gerbang pertumbuhan ekonomi regional dapat difokuskan  BNPP pada titik exit-entry point sebagai berikut :
a.  RI-Malaysia : (1) Aruk; (2) Entikong; (3) Jagoi Babang; (4) Nunukan;
b. Sulawesi Utara : (1) Marore; (2) Miangas
c. PNG : Skouw
d. NTT : (1) Napan; (2) Motaain; (3) Metamauk; (4) Wini

2.  PLB tradisional yang tidak memiliki nilai strategis ekonomi, selama masih dipergunakan untuk pemenuhan tujuan sosial budaya masyarakat harus tetap dipertahankan. PLB yang ada perlu diperkuat sistem pengawasannya serta disediakan sarana, prasarana, dan pelayanan yang memadai sesuai dengan volume mobilitas lintas batas yang terjadi. Untuk itu diperlukan kategorisasi PLB berdasarkan volume mobilitas lintas batasnya untuk mempermudah skala sarana dan prasarana yang harus disediakan.
3. BNPP perlu merumuskan sistem monitoring PLB secara berkala untuk meninjau  perkembangan mobilitas penduduk yang dapat digunakan untuk memutuskan PLB mana yang sudah tidak dipergunakan masyarakat untuk mendukung aktivitas kehidupan sehari-harinya.

Tidak ada komentar: